Opini

Refleksi Kemerdekaan Indonesia

593
×

Refleksi Kemerdekaan Indonesia

Sebarkan artikel ini

Oleh: Bung Rulan

Ilustrasi
Ilustrasi

Tepat 71 tahun lamanya Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, bebas dari jajahan bangsa lain. Terutama bebas untuk menentukan arah perjalanan bangsa dikancah percaturan Internasional. Hindia Belanda adalah sebutan untuk masyarakat pribumi, mereka tak punya kuasa untuk bicara apalagi kritik mengkritik pemerintahan kolonial belanda.

Sekali bicara, moncong senjata dan sepatu laras panjang melayang tepat menghantam bagian kepala. Apalagi berusaha untuk melakukan perlawanan, sudah pasti dibasmi seperti rumput liar dicelupkan Pestisida. Kekayaan alam di keruk habis, dibawa ke negaranya: untuk membangun kota di Amsterdam. Belanda termasuk negara yang mampu membendung laut, kemudian membangun kota yang sangat indah.

Ibarat gadis cantik, dengan postur tubuh tinggi, hidung mancung, pipi lesung, pokoknya sekali lihat serasa sedang bermain dengan Dian Sastrowardoyo artis cantik pemain Ada Apa Dengan Cinta (AADC 2). Seperti itulah potret keindahan kota Amsterdam, yang dibangun dengan mengambil kekayaan alam Indonesia.

Bayangkan saja, Indonesia dijajah selama Tiga Setengah Abad lamanya, bukan saja kekayaan alam di angkut, gadis-gadis cantik banyak jadi korban kebejatan Nafsu birahi para kompeni. Perempuan dipaksa melayani serdadu-serdadu, setelah itu di bantai dan dibunuh. Sungguh amat tragis dan menyakitkan hati, bila mengenang kembali jejak kelam penjajah. Setelah belanda kalah dalam perang, akhirnya pihak Jepang datang menjajah menggantikan kerajaan belanda di Indonesia.

Di Bima tidak luput dari aksi kolonislisme penjajah. Penduduk asli, terpaksa menikahkan anak perempuannya dengan siapa saja pemuda yang sudah cukup umur. Lantaran takut di ambil Jepang untuk di jadikan sebagai budak nafsu. Kejadian ini, dikenal sebagai “Nika Baronta” Nikah Berontak/Paksa berlangsung tahun 1942-1945, namun puncaknya di tahun 1944, agar terselamatkan kesucian dan harga diri perempuan. Namun tak sedikit perempuan yang menjadi korban atas kerasnya hidup saat itu. Menjadi perempuan baik-baik yang menjaga kesucian dan kehormatan untuk suami, rasanya sulit dibawah cengkraman penjajahan.

Rencananya Nippon membawa gadis-gadis muda Bima, akan dijadikan sebagai Jugan Ianfu (Pelayan Bar dan Wanita Penghibur). Untuk dikirim ke pulau Sumatra dan Jawa. Oleh Kesultanan Bima Muhammad Salahuddin (julukan: Ma Kidi Kai  KAgama~ yang menegakkan Agama: arti bebasnya) menyerukan untuk segerah menikah secepatnya, tanpa cinta, tanpa pacaran asalkan kehormatan tetap dipertahankan. Walhasil ide tersebut menuai keberhasilan, tentara Jepang mengurungkan niatnya untuk mengambil anak gadis perawan dari bima.

Sejarahwan H. Abdullah Tayib, BA asal Bima, yang menulis tentang “Sejarah Bima Dana Mbojo” menyebutkan. Bahwa mungkin sebagian dari tanda-tanda kiamat itu telah terjadi ditanah Bima pada masa itu dimana, orang tua si gadis mendatangi si perjaka untuk secepatnya menikahi putrinya. Itulah sekelumit cerita tentang kejahatan dan kekejamanan penjajah di tanah Bima. Kejadian tersebut bisa saja jauh lebih kejam dan buruk dibeberapa daerah lainnya.

Muncul perlawanan, kobaran api semangat tetap terawat untuk mengusir brengseknya Nippon saat itu. Para pejuang kemerdekaan, tak tinggal diam saja menyaksikan brengseknya pejajahan. Mereka turut angkat senjata, mempersenjatai diri untuk melawan, berontak sekuat tenaga: walau bambu runcing tidak sebanding dengan Tank dan pesawat tempur penjajah. Hanya itu yang bisa dilakukan, merakit dan menjahit keberanian menjadi ledakan-ledakan besar: sehingga menjalar ke muda-mudi, tua kecil tak kenal umur. Karena keberanian seperti virus, virus kemerdekaan menginveksi satu demi satu, menciptakan tekad untuk merdeka.

Spirit perlawanan tetap digelorakan di gubuk-gubuk, di sawah, di ladang, di gunung bahkan dilaut. Membangun perlawanan dengan mengorganisasikan para buruh untuk tetap berjuang melawan setiap penjajahan. Setiap hela nafas para pejuang, ada harapan bersama: harapan untuk keluar dari penjajahan dan menjadi sebuah bangsa yang bisa menentukkan masa depan sendiri. Sebuah bangsa yang dapat mengatakan tidak pada kolonialisme, karena hal tersebut merupakan kejahatan atas kemanusiaan (Dehumanisasi) lainnya. Sehingga penjajahan di atas dunia harus di hapuskan.

Nafas perlawanan perjuangan kemerdekaan tak pernah putus, sambung menyambung seperti tali temali. mati satu tumbuh jutaan perlawanan. Benih-benih kemerdekaan jadi kosumsi wajib bagi anak muda masa itu, anak muda menjadi tulang punggung perlawanan, menyambung cita-cita Luhur kemerdekaan bangsa Indonesia.

Soekarno bersama para sahabatnya, baik yang nasionalis, agamais bahkan sosialis komunis. Bersama-sama mewujudkan tekad dan harapan bangsa Indonesia di tanah air, untuk merdeka dari jajahan kompeni. Dipilihlah tanggal 17 Agustus 1945, untuk membacakan Proklamasi Kemerdekaan, di depan rumah Soekarno di jalan pegangsaan timur No. 56. Sebelum berlangsung pembacaan teks Proklamsi Kemerdekaan Indonesia. Tepat pada tanggal 16 Agustus, Soekarno dan Hatta di culik oleh sekelompok pemuda: diantaranya Soekarni, Wikana dan Chaerul Shaleh. Mereka adalah “Perkumpulan Menteng 31”.

Bung Karno dan Bung Hatta dibawah ke Rengasdengklok (Peristiwa Rengasdengklok), untuk kemudian didesak agar sesegera mungkin untuk memproklamasikan kemerdekaan, setelah Negara berlambang Matahari ini mengalami kekalahan perang di pasifik. Bom Atom dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki seketika dua kota besar ini hancur lebur dan menyisahkan banyak korban berjatuhan. Akhirnya mereka sepakat setelah melalui perundingan antara golongan tua yang diwakili oleh Soekarno dan Hatta sedangkan golongan muda diwakili oleh Ahmad Subardjo: untuk memproklamirkan kemerdekaan secepatnya.

*Penulis juga Pengelolah RumahTulis.com dan Mahasiswa Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar