Oleh: Ekamara A. Putra
Opini, Kahaba.- Tepat pada Kamis, 24 Januari 2013 kemarin umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal 1434 H. Salah satu hari keagamaan penting–bukan hari raya–yang selalu diperingati oleh umat Islam dengan cara dan keyakinannya masing-masing. Sama halnya dengan hari-hari besar keagamaan lainnya, dalam peringatan maulid juga pasti dijadikan momentum untuk introspeksi dan refleksi atas segala kehidupan yang telah dijalani.
Pada maulid, introspeksi dan refleksi tersebut akan berujung pada satu sumber utama sebagai rujukan dan cermin yaitu sosok Muhammad. Seorang piatu yang diangkat oleh Allah derajatnya menjadi seorang nabi dan rasul. Periode kehidupan nabi selama 63 tahun selalu terdapat pelajaran dan hikmah penting yang dapat diambil di dalamnya dan bernilai universal. Dan untuk konteks Indonesia sekarang, salah satu pelajaran yang dapat dipetik yaitu politik inklusif yang diterapkan oleh Muhammad ketika menjadi pemimpin umat.
Masyarakat Madani
Sosok Muhammad bukan semata seorang pemimpin spiritual tetapi juga pemimpin politik. Kepemimpinan Muhammad merupakan contoh kepemimpinan inklusif. Model kepemimpinan ketika semua elemen dan lapisan masyarakat yang dipimpin memiliki kewajiban dan pengakuan hak yang setara serta pelibatan dalam setiap pengambilan keputusan (musyawarah).
Konsep pelaksanaan sistem politik inklusif di atas tertuang di dalam Piagam Madinah. Piagam yang terdiri atas 47 pasal tersebut dalam buku Zainal Abidin Ahmad berjudul Piagam Nabi Muhammad S.A.W: Konstitusi Negara TertulisPertama di Dunia (1973). Disebutkan sebagai konstitusi tertulis pertama sebuah negara di dunia (622 M). Yang jauh mendahului Magna Charta Inggris dan Konstitusi Amerika Serikat selama 12 abad.
Yang menarik, salah satu inti dari piagam tersebut yaitu diakuinya hak-hak dan eksistensi umat Yahudi dan Nasrani dan kelompok-kelompok lainnya sebagai warga negara sama halnya dengan kaum mukminin. Dengan catatan, selama mereka mau mengikuti, bergabung, berjuang bersama dan melaksnakan kewajiban masing-masing yang ditetapkan oleh Muhammad sebagai pemimpin politiknya.
Akibatnya, meskipun masyarakat Negara Madinah merupakan masyarakat yang plural dan majemuk. Tetapi tercipta sebuah sistem kehidupan yang harmoni, saling toleran, menghormati satu sama lain, rukun dan taat hukum sebagai sebuah bentuk masyarakat madani. Jenis kehidupan bermasyarakat yang diidam-idamkan oleh masyarakat Indonesia.
Tirani Politik
Sesungguhnya apa yang terjadi antara Muhammad dengan Piagam Madinah dan masyarakatnya hampir persis seperti apa yang terjadi di Indonesia. UUD 1945 sebagai dasar negara RI telah mengakui kesetaraan hak semua warga negara dengan segala kewajiban yang sama pula. Tidak ada yang dapat mengelak bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural, beragam dan majemuk laiknya masyarakat Madinah tempo dulu.
Namun, yang membedakan Madinah tempo dulu dan Indonesia kini yaitu sosok pemimpin dan aktualisasi dari sebuah konstitusi. Memang, sosok Muhammad tidak akan dapat tertandingi oleh manusia lainnya dalam aspek apapun. Tetapi untuk aspek inklusivitas politik, penulis kira semua pemimpin seharusnya mampu meniru seperti apa yang dilakukan oleh Muhammad.
Sayangnya, pemimpin-pemimpin bangsa kita kebanyakan merupakan penganut model kekuasaan Jawa yang taat seperti yang digambarkan oleh Indonesianis asal Australia, Benedict Anderson. Bahwa kepemimpinan bersifat tunggal, kekuasaan tidak dapat dibagi yang berujung pada lahirnya oligarki dan tirani politik bahkan kadangkala berbentuk dinasti. Suatu kondisi ketika proses pengambilan keputusan politik dan ekonomi hanya dilakukan dan dinikmati oleh penguasa bersama-sama segelintir elit di sekelilingnya.
Dengan kondisi di atas, pasti tidak ada harapan agar konstitusi yang agung dapat dijalankan sebaik-baiknya sekalipun memiliki tujuan yang mulia. Karena konstitusi menjadi alat bagi penguasa dan elit negeri dalam menjalankan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompoknya untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kemutlakan Inklusivitas
Melihat kondisi riil masyarakat dan pemimpin Indonesia sekarang, sekaligus sebagai buah refleksi untuk maulid kali ini. Maka mutlak bagi pemimpin-pemimpin bangsa di negeri ini untuk menjalankan sistem politik yang inklusif. Sistem politik yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan publik, tentu melalui saluran-saluran konstitusional yang ada. Yang mengakui kesetaraan kewajiban dan hak setiap warga negara.
Kalaupun sekarang mungkin pemimpin-pemimpin negeri ini belum mampu atau bukan orang yang mampu menerapkan politik inklusif. Maka pada pemilu 2014 nanti yang sudah hampir di depan mata, kita memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang tepat. Pemimpin yang mampu menjalankan UUD 1945 sebaik-baiknya, syukur-syukur jika mampu seperti Muhammad yang menjalankan dengan baik isi dari Piagam Madinahnya.