Oleh: Didid Haryadi*
Tahun politik! Itulah frasa singkat yang saya tangkap dari perbincangan di warung makan kemarin sore. Dua orang bertukar cerita di sebuah bangku panjang. Sambil berbagi tempat duduk, sesekali mereka berguyon tentang kenyataan hidup yang terus menguras energi. Namun harus tetap dihadapi dengan kerja keras dan perjuangan.
Mungkin saja fenomena ini yang dimaksudkan oleh Albert Camus sebagai Absurditas kehidupan.
Sejurus dengan hal tersebut, di layar kaca dan dalam gawai digital, informasi bergerak begitu cepat. Ia melaju bersama waktu dan peristiwa-peristiwa yang mengiringinya. Isu ekonomi, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, sosial dan politik ataupun ihwal seni yang dipentaskan di atas panggung menjadi konsumsi publik dalam laku sehari-hari.
Namun demikian, mau tidak mau dan suka tidak suka, informasi sosial dan politik seolah semakin terasa dekat dengan publik. Apakah karena isu ini memang menjadi kebutuhan publik atau publik dibuat untuk paham dan khatam perihal kondisi kekinian? Peringkat untuk topik terpopuler hampir selalu membicarakan tentang elit politik. Sebut saja, penjaringan kandidat calon presidan dan wakil presiden, anggota legislatif, pemilihan kepala daerah, ramalan bubarnya Indonesia di 2030, penguasaan aset dan kekayaan alam oleh segelintir kelompok, atau tentang sajak-sajak puisi seorang anak proklamator bangsa yang menimbulkan kontroversial.
Perang #Tagar di ruang publik pun tak bisa lagi dibendung. Tak kalah riuhnya, sikap cupet dan culas yang berserakan di lini masa media sosial. Semuanya dipentaskan!
Spontan, saya teringat dengan penggalan lirik lagu ‘Balada Harian’ milik kelompok bermusik Silampukau: Mentari tinggal terik bara tanpa janji/Kota tumbuh/Kian asing, kian tak peduli/Dan kita tersisih di dunia yang ngeri/dan tak terpahami ini/.
Dalam tulisan ini saya ingin menggunakan sudut pandang Ruang Publik untuk sedikit memahami konteks dari fenomena yang saya sebutkan di atas.
Peran Ruang Publik
Thomas Burger adalah penerjemah salah satu karya penting milik Jurgen Habermas. Ia menerjemahkan naskah dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris. Dalam buku yang diberi judul The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Polity Press, 1989), Habermas membedakan tiga jenis Ruang Publik.
Sebenarnya, istilah ruang publik sangat sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dalam bahasa Jerman, istilah ruang publik disebut Öffentlichkeit, memiliki makna beragam seperti ‘(sang) publik, ‘ruang publik’, atau ‘publisitas’. Kemudian, dengan berbagai pengujian pemaknaan itu dengan konteks, yang paling cocok dari ketiganya adalah istilah ‘ruang publik’.
Ada tiga jenis ruang publik antara lain, Politische Öffentlichkeit: artinya ‘ruang publik politik/politis (atau kadang-kadang diterjemahkan dalam frase lebih panjang menjadi ‘ruang publik di wilayah politik/politis). Kedua, Literarische Öffentlichkeit: diterjemahkan sebagai ‘ruang publik sastra/literer’ (atau ruang publik di dunia sastra/tulis-menulis). Dan ketiga, Reprasentative Öffentlichkeit: ‘perwakilan publik’, yakni pertunjukan kekuatan spiritual inheren atau kehormatan di depan khalayak yang menonton.
Ruang publik dalam bahasa Inggris seringkali diterjemahkan dengan Public Sphere. Dalam satu dasawarsa yang lalu atau pasca iklim reformasi menerpa Indonesia, konsep ini sempat populer di dalam kajian ilmu-ilmu sosial, teori demokrasi dan secara umum dalam diskursus politis. Merujuk pada gagasan yang disampaikan oleh F. Budi Hardiman dalam buku ‘Ruang Publik (Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace)’, adapun hadirnya konsep ruang publik adalah upaya untuk mendorong partisipasi seluruh warganegara untuk mengubah praktik-praktik sosio-politis lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif.
Memahami (Ruang) Publik
Kajian tentang ruang publik sudah sangat banyak dilakukan. Meskipun konsep ini datang dari Barat, akan tetapi semangat dan nilai-nilai keilmuannya cukup relevan dengan konteks yang ada di negara-negara lain. Bahkan telah menjadi diskursus global. Salah satu penyebarannya ialah melalui jalur perkembangan teori-teori demokrasi modern.
Panggung-panggung politik biasanya hadir sebagai bentuk lain dari manifestasi ruang publik. Beragam isu didialogkan dengan menggelorakan persatuan dan kesatuan nasional. Diksi-diksi digunakan untuk menyampaikan pesan kepada publik dengan maksud agar mudah dimengerti. Terkadang juga hal tersebut terasa rumit untuk memahaminya.
Tak jarang, dalam kondisi seperti ini informasi yang muncul juga hanya berhenti di panggung itu. Misalnya saja, ihwal perkiraan bubarnya Indonesia pada 2030 ataupun ringkasan memori tentang penyesalan tidak melakukan kudeta. Idealnya, para elit ataupun figur politik kita seharusnya mampu memberikan pendidikan politik yang baik kepada publik. Misalnya dengan membangun sikap optimis, visioner dan mewujudkan pesan-pesan kemerdekaan. Yang lebih penting adalah menawarkan solusi atas fenomena dan ramalan-ramalan yang telah terbaca.
Jika kita secara spontan berusaha untuk terlibat dalam topik percakapan tertentu, maka kita akan merasa ada sebuah keterasingan yang muncul. Dengan menyerap informasi, secara perlahan kita juga harus mampu mencari tahu tentang isu yang dibicarakan. Menyimak, mencatat, menganalisis dan menarik kesimpulan.
Tahun politik selalu berhasil menjaring publik untuk berpartisipasi. Elit dan partai politik bergerak, bergerilya dan menembus gawai kanal-kanal berita untuk mengais popularitas. Semua berdiri dan berjalan sembari membawa panji perubahan dengan riasan masing-masing.
Ruang publik, juga mampu menciptakan solidaritas dan gerakan-gerakan penyadaran. Ia bukanlah sekedar ‘tempat fisik’, melainkan komunikasi warga itu sendiri yang mereproduksi ruang di antara mereka. Atau secara berurutan, Hannah Arendt menyebut situasi tersebut sebagai ‘ruang penampakan’ (Erscheinungsraum) dan “kekuasaan” (Macht).
*Alumnus Pascasarjana Sosiologi Istanbul University, Turki. Menulis untuk www.nyalaaksara.wordpress.com)