Oleh : Ahmad Usman*
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar). Foto: Ist
Sebelum konsep quadruple helix diciptakan, konsep pertama yang dikenal adalah konsep triple helix (UIG/university-industry-government) yang mewakili sinergi antara akademisi, bisnis/industri dan pemerintah dengan menyertakan faktor sumber daya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta berfokus pada penyampaian berbagai inovasi dan temuan baru sehingga wawasan yang dibuat dengan menciptakan peluang bisnis. Sementara, konsep teori quadruple helix oleh Galbraith (2015) merupakan kombinasi dari empat elemen yang terlibat dalam kolaborasi pengetahuan, yaitu: pemerintah (government), akademik (academic), industri (industry) dan masyarakat (users).
Quadruple helix menyempurnakan triple helix dengan memperkenalkan helix keempat, yang merupakan pihak yang menjadi bagian penting dari tata kelola inovasi, yaitu civil society (Prasetyanti & Kusuma, 2020). Quadruple helix merupakan kolaborasi empat sektor sekaligus yakni governmet, business, academia (institusi sumber pengetahuan), dan civil society. Konsep ini mengakui bahwa inovasi yang dilakukan oleh warga yang kreatif dapat mendukung keberhasilan suatu tujuan bersama. Dalam quadruple helix, masing-masing kelembagaan bertugas memajukan inovasi dan pengembangan apapun yang dimilikinya. Masyarakat memiliki peran yang tidak kalah strategis, mereka tidak sekadar sebagai pengguna namun juga bisa berkontribusi lebih dari itu karena konsep quadruple helix ini membuka ide-ide segar dan briliant muncul dari sektor manapun (Imron, 2020). Dalam pendekatan quadruple helix terdapat 4 aktor yang terlibat dalam kerjasama tersebut yaitu pemerintah daerah, industri, akademis dan masyarakat sipil. Pemerintah daerah merupakan pusat daerah yang menyelenggarakan otonomi daerah yang mengurus kepentingan masyarakat.
Kaleidoskop Teori Triple Helix
Kaleidoskop adalah rangkuman peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, disajikan secara singkat, seringkali sebagai refleksi dari suatu periode waktu. Dalam tulisan, kaleidoskop penulis kaitkan dengan teori triple helix.
Teori triple helix, yang dipopulerkan oleh Etzkowitz dan Leydersdorff (Kholis, dkk., 2021), adalah suatu pendekatan dalam menciptakan sinergi kerjasama dari tiga aktor yaitu akademik (A), bisnis (B), dan pemerintah (G) untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Dari sinergi yang terbangun diharapkan dapat muncul sirkulasi pengetahuan antar aktor yang terlibat untuk melahirkan berbagai inovasi pengetahuan yang memiliki potensi untuk dikapitalisasi atau ditransformasi menjadi produk maupun jasa yang memiliki nilai ekonomis.
Sinergi sendiri mengandung makna sebagai kombinasi atau paduan unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar. Sinergitas dalam pembangunan berarti keterpaduan berbagai unsur pembangunan yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar (Covey, 1993). Sinergi adalah sebuah proses dimana interaksi dari dua atau lebih agen atau kekuatan akan menghasilkan pengaruh gabungan yang lebih besar dibandingkan jumlah dari pengaruh mereka secara individual. Dengan demikian, terdapat 2 suatu sinergi apabila hasil dari gabungan misalnya dua kekuatan akan menghasilkan persamaan matematik sebagai berikut: 1 + 1 > 2 (Deardorff dan Williams, 2006). Sinergitas adalah menggabungkan dua atau lebih kekuatan dengan tujuan hasil atau output yang dihasilkan bisa menjadi lebih baik dan maksimal dengan mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Menurut Covey (2011), sinergitas akan mudah terjadi bila komponen-komponen yang ada mampu berpikir sinergi, terjadi kesamaan pandang, dan saling menghargai. Sinergitas = 1+1=4, 5, 6, 7, dst, dst….
Dalam perkembangan empirisnya di berbagai belahan dunia muncul berbagai aktor-aktor di luar unsur ABG yang disebutkan tadi yang ikut memberi pengaruh signifikan bagi dinamika interaksi ketiganya. Dengan adanya aktor-aktor yang muncul kemudian ini diperlukan suatu model yang merupakan pengembangan dari model triple helix, sebagai pisau analisis dalam mengembangkan berbagai model kebijakan kerjasama knowledge-based economy. Leydersdorff (2012) berpandangan bahwa model triple helix secara teoretis dapat diekspansi menjadi model-model quadruple-helix, dan seterusnya hingga n-tuple helix tanpa ada batasan. Meski demikian, Leydersdorff (2012) memberi catatan bahwa atas alasan metodologis hendaknya pengembangan model triple helix dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan agar memberikan daya penjelas.
Quadruple Helix dan Gerakan “BISA”
Model quadruple helix dalam gerakan Kota Bima “BISA” melibatkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan solusi inovatif dan berkelanjutan. Masing-masing elemen memiliki peran krusial dalam menjaga kebersihan, keindahan, kesehatan dan keasrian (BISA). Pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator, akademisi sebagai penyedia pengetahuan dan penelitian, sektor swasta sebagai pelaku implementasi solusi, dan masyarakat sebagai agen perubahan menuju perilaku “BISA”.
Peran masing-masing elemen dalam model quadruple helix untuk gerakan Kota Bima “BISA”. Pertama, pemerintah. Di antara perannya : menetapkan kebijakan dan regulasi terkait gerakan “BISA”; menyediakan infrastruktur dan fasilitas pendukung gerakan “BISA”; mengalokasikan anggaran untuk program gerakan “BISA”; dan menjadi fasilitator dalam membangun kerjasama antar pemangku kepentingan.
Kedua, akademisi. Di antara perannya : melakukan penelitian dan pengembangan teknologi baru terkait gerakan “BISA”; memberikan edukasi dan pelatihan kepada masyarakat mengenai pentingnya gerakan “BISA”; menyediakan data dan informasi yang akurat terkait kondisi gerakan “BISA”; dan mengembangkan “kurikulum pendidikan” yang berorientasi pada isu gerakan “BISA”.
Ketiga, sektor swasta. Di antara perannya : mengembangkan dan mengimplementasikan solusi inovatif dalam gerakan “BISA”; menyediakan layanan gerakan “BISA” yang efisien dan berkelanjutan; menciptakan produk-produk ramah lingkungan dan mendukung gerakan circular economy; dan berpartisipasi dalam program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terkait gerakan “BISA”.
Keempat, masyarakat. Di antara perannya : berpartisipasi aktif dalam gerakan “BISA”; menerapkan gaya hidup berkelanjutan dan mengurangi sampah; melaporkan pelanggaran kebersihan kepada pihak berwenang; dan mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam menjaga gerakan “BISA”.
Dengan adanya kolaborasi yang kuat antara keempat elemen ini, gerakan Kota Bima “BISA” diharapkan dapat berjalan lebih efektif dan memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.
Quadruple helix pengelolaan sampah misal, merupakan konsep kolaboratif yang jaringannya menghubungkan peran pemerintah, akademisi, industri atau bisnis dan masyarakat menjadi salah satu kekuatan dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan
Kerja Sama Lembaga Riset
Penambahan aktor masyarakat dalam model quadruple helix mengakui pentingnya peran aktif masyarakat dalam proses inovasi. Dengan adanya kolaborasi yang erat antar keempat aktor ini, diharapkan tercipta ekosistem inovasi yang dinamis dan adaptif terhadap perubahan. Sinergi antara aktor-aktor yang mempengaruhi keberhasilan inovasi Iptek, yaitu dari kalangan ABG-s, yakni Academician, Bussines, dan Government dan society.
Tujuan utama dari kerjasama quadruple helix, yakni menciptakan inovasi yang berkelanjutan dan relevan dengan kebutuhan masyarakat; mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial; mempercepat proses transfer pengetahuan dan teknologi; dan meningkatkan daya saing daerah dan nasional.
Kalangan akademisi dengan sumber daya, ilmu pengetahuan, dan teknologinya memfokuskan diri untuk menghasilkan berbagai temuan dan inovasi yang aplikatif. Kalangan bisnis melakukan kapitalisasi yang memberikan keuntungan ekonomi dan kemanfaatan bagi masyarakat. Sedang pemerintah menjamin dan menjaga stabilitas hubungan keduanya dengan regulasi kondusif (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000).
Masyarakat merupakan bagian dari manajemen pembangunan perkotaan yang tidak hanya dipandang sebagai objek, tapi juga menjadi pelaku dan tokoh kunci dalam perencanaan dan implementasi suatu program pembangunan perkotaan. Secara definisi, masyarakat adalah komunitas atau sekelompok orang yang dikaitkan dengan batasan geografis tertentu yang memiliki ikatan tertentu baik secara sosial maupun emosional. Partisipasi masyarakat dalam manajemen kota sangat diperlukan karena rencana yang dibuat juga ditujukan kepada masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat juga dapat meningkatkan efisiensi sumber daya, pemerataan, pengembangan SDM, dan mengefektifkan biaya pembangunan perkotaan.
Strategi peningkatan partisipasi dalam pembangunan, dilakukan dengan membangun kapasitas dan membangkitkan ketertarikan masing-masing stakeholder. Peningkatan partisipasi pemerintah daerah, lebih ditujukan kepada pengembangan kapasitas dalam 3 (tiga) dimensi: sistem, entitas, dan individu (Hutagalung, 2022).
Peningkatan partisipasi swasta, dilakukan melalui beberapa pra-kondisi yang menyangkut aspek ekonomi, sebagai kompensasi tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam kontribusinya. Peningkatan partisipasi masyarakat dilakukan melalui prosedur yang sistematis dan menerus, mengikuti pentahapan pembangunan, didampingi pihak kredibel sebagai katalisator pembangunan, yang membantu memberdayakan masyarakat agar tidak kehilangan momentum pembangunannya. Peningkatan partisipasi stakeholder harus dilakukan dalam suatu proses koordinasi bersama-sama, karena satu dengan lainnya saling berhubungan dan saling ketergantungan (interdependence) (Nusantara, 2018).
Peranan Triple Helix Sedikit, penulis mengupas kembali peranan triple helix. Harsz Al-Kafka (Usman, 2024), memaparkan bahwa triple helix sebagai aktor utama harus selalu bergerak melakukan sirkulasi untuk membentuk knowledge spaces, ruang pengetahuan di mana ketiga aktor sudah memiliki pemahaman dan pengetahuan yang setara, yang akan mengarahkan ketiga aktor ini untuk membuat consensus space, ruang kesepakatan di mana ketiga aktor ini mulai membuat kesepakatan dan komitmen atas suatu hal yang akhirnya akan mengarahkan kepada terbentuknya innovation spaces, ruang inovasi yang dapat dikemas menjadi produk kreatif bernilai ekonomis.
Sirkulasi ini selalu berusaha menciptakan kebaruan (inovasi) dan inovasi sering mengubah struktur yang telah ada, atau destruksi kreatif (Joseph Schumpeter dalam Usman, 2024) yang berarti, munculnya inovasi baru di dalam industri akan menggusur industri-industri lama yang tidak kreatif dan tergantikan dengan industri yang lebih kreatif.
Ruang interaksi yang terjadi antar aktor utama triple helix dapat dianalisa sebagai berikut. Pertama, ruang ilmu pengetahuan. Di sini individu-individu dari berbagai disiplin ilmu mulai terkonsentrasi dan berpartisipasi dalam pertukaran informasi, ide-ide dan gagasan-gagasan. Wacana-wacana dan konsepsi tumbuh subur dan senantiasa dimantapkan. Kedua, ruang konsensus. Di sini mulai terjadi bentukan-bentukan komitmen yang mengarah pada inisiatif tertentu dan proyek-proyek, pembentukan perusahaan-perusahaan baru. Diperkuat pula oleh sirkulasi informasi yang kredibel dan netral sehingga menumbuhkan rasa kepercayaan individu-individu yang bersangkutan hingga menjadi dukungan-dukungan terhadap konsensus. Ketiga, ruang inovasi. Di sini inovasi yang tercipta telah terformalisasi dan bertransformasi menjadi knowledge capital, berupa munculnya realisasi bisnis, realisasi produk baru, partisipasi dari institusi finansial (misalnya, Seed Capital, Angel Capital, Venture Capital) dan dukungan pemerintah berupa insentif, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran HKI dan sebagainya (Sucipta, 2019).
Peran tripel helix sebagai berikut. Pertama, intelektual (intellectuals). Intelektual disini memiliki peran sebagai sebagai agen yang menyebarkan dan mengimplementasikan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, serta sebagai agen yang membentuk nilai‐nilai yang konstruktif bagi pengembangan industri kreatif dalam masyarakat. Intelektual sebagai bagian dari komunitas cendekiawan di dalam lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian, memiliki peranan yang besar dalam mengembangkan ekonomi kreatif (Al Hakim, dkk, 2019).
Kontribusi akademisi tersebut dapat dijabarkan dalam tiga bentuk peranan, seperti juga yang termuat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: (1) peran pendidikan ditujukan untuk mendorong lahirnya generasi kreatif Indonesia dengan pola pikir yang mendukung tumbuhnya karsa dan karya dalam industri kreatif; (2) peran penelitian dilakukan untuk memberi masukan tentang model kebijakan pengembangan industri kreatif dan instrumen yang dibutuhkan, serta menghasilkan teknologi yang mendukung cara kerja dan penggunaan sumber daya yang efisien dan menjadikan industri kreatif nasional yang kompetitif; dan (3) peran pengabdian masyarakat dilakukan untuk membentuk masyarakat dengan institusi/tatanan sosial yang mendukung tumbuh suburnya industri kreatif nasional. Dalam menjalankan perannya secara aktif, cendekiawan dituntut untuk memiliki semangat disipliner dan eksperimental tinggi, menghargai pendapat yang berseberangan (empati dan etika), mampu memecahkan masalah secara kreatif, menjalankan observasi yang bersifat lintas sektoral, menggunakan teknologi ICT dengan fasih, menjadi anggota forum pengkayaan ilmu pengetahuan dan seni baik secara nasional maupun internasional, formal maupun non-formal (Astutik, 2018).
Kedua, bisnis (business). Aktor bisnis merupakan pelaku usaha, investor dan pencipta teknologi-teknologi baru, serta juga merupakan konsumen industri kreatif. Aktor bisnis juga perlu mempertimbangkan dan mendukung keberlangsungan industri kreatif dalam setiap peran yang dilakoninya. Misalnya melalui prioritas penggunaan input antara industri kreatif domestik, seperti jasa-jasa industri kreatif dalam riset, iklan dan lain-lain.
Peran bisnis dalam pengembangan industri kreatif ini adalah: (1) pencipta, yaitu sebagai center of excellence dari kreator produk dan jasa kreatif, pasar baru yang dapat menyerap produk dan jasa yang dihasilkan, serta pencipta lapangan pekerjaan bagi individu-individu kreatif ataupun individu pendukung lainnya; (2) pembentuk komunitas dan entrepreneur kreatif, yaitu sebagai motor yang membentuk ruang publik tempat terjadinya sharing pemikiran, mentoring yang dapat mengasah kreativitas dalam melakukan bisnis di industri kreatif, business coaching atau pelatihan manajemen pengelolaan usaha di industri kreatif. Dalam menjalankan perannya, bisnis dituntut untuk menggunakan kemampuan konseptual yang tinggi, mampu menciptakan variasi baru berupa produk dan jasa, mahir berorganisasi, bekerjasama, berdiplomasi (semangat kolaborasi dan orkestrasi), tabah menghadapi kegagalan yang dialami, menguasai konteks teknikal dan kemampuan perencanaan finansial (Astutik, 2018).
Ketiga, pemerintah (government). Keterlibatan pemerintah dalam pembangunan industri kreatif sangatlah dibutuhkan terutama melalui pengelolaan otonomi daerah yang baik, penegakan demokrasi, dengan prinsip-prinsip good governance. Ketiganya bukan merupakan hal yang baru, memang sudah menjadi agenda utama reformasi. Jika berhasil dengan baik, ketiganya merupakan kondisi positif bagi pembangunan industri kreatif. Para ahli percaya, kemajuan pembangunan ekonomi kreatif sangat dipengaruhi oleh lokasi/place (identik dengan otonomi daerah), dan toleransi/pola pikir kreatif (identik dengan demokrasi).
Sementara prinsip-prinsip good governance; partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsiveness, equity (keadilan), visi strategis, efektivitas dan efisiensi, profesionalisme, akuntabilitas, dan supervisi (arahan), adalah prinsip-prinsip pengelolaan di mana industri kreatif bisa tumbuh agresif. Pemerintah haruslah memiliki kepekaan dan apresiasi terhadap aspirasi rakyat (Astutik, 2018).
Memahami bahwa di dalam membangun insan Indonesia yang cerdas tidak dapat dijalankan hanya dalam jangka pendek, karena pembangunan kecerdasan berarti ada proses permbelajaran, pemuliaan dan pengkayaan. Mengejar hasil akhir dalam jangka pendek tanpa dilandasi pembangunan pilar yang kuat akan membuat struktur ekonomi yang lemah dan tidak berkelanjutan. Untuk itu aktor pemerintah harus dapat menempatkan birokrasi secara proporsional, transparan dengan semangat mencapai interaksi yang sejajar.
Peran utama pemerintah dalam pengembangan industri kreatif : pertama, katalisator, fasilitator dan advokasi yang memberi rangsangan, tantangan, dorongan, agar ide-ide bisnis bergerak ke tingkat kompetensi yang lebih tinggi. Tidak selamanya dukungan itu haruslah berupa bantuan finansial, insentif ataupun proteksi, tetapi dapat juga berupa komitmen pemerintah untuk menggunakan kekuatan politiknya dengan proporsional dan dengan memberikan pelayanan administrasi publik dengan baik. Kedua, regulator yang menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan people, industri, insititusi, intermediasi, sumber daya dan teknologi. Pemerintah dapat mempercepat perkembangan industri kreatif jika pemerintah mampu membuat kebijakan-kebijakan yang menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi industri kreatif. Ketiga, konsumen, investor bahkan entrepreneur. Pemerintah sebagai investor harus dapat memberdayakan asset negara untuk menjadi produktif dalam lingkup industri kreatif dan bertanggung jawab terhadap investasi infrastruktur industri. Keempat, urban planner. Kreativitas akan tumbuh dengan subur di kota-kota yang memiliki iklim kreatif. Agar pengembangan ekonomi kreatif ini berjalan dengan baik, maka perlu diciptakan kota-kota kreatif di Indonesia. Pemerintah memiliki peran sentral dalam penciptaan kota kreatif (creative city), yang mampu mengakumulasi dan mengkonsentrasikan energi dari individu-individu kreatif menjadi magnet yang menarik minat individu/perusahaan untuk membuka usaha di Indonesia. Ini bisa terjadi karena inidividu/perusahaan tersebut merasa yakin bisa berinvestasi secara serius (jangka panjang) di kota-kota itu, karena melihat adanya potensi suplai SD4M yang berpengetahuan tinggi yang bersirkulasi aktif di dalam daerah itu (Rahman, 2020).
Quadruple Helix sebagai Model Inovasi Daerah
Hakikatnya, quadruple helix sebagai model inovasi daerah. Inovasi daerah adalah segala bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Inovasi daerah bertujuan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dan pelayanan publik, dengan tujuan akhir menyejahterakan masyarakat. Inovasi ini bisa berupa perbaikan tata kelola pemerintahan, pelayanan publik yang lebih baik, atau inovasi lain yang relevan dengan urusan pemerintahan daerah. Termasuk inovasi dalam tata kelola penanganan kebersihan, keindahan, kesehatan dan keasrian sebuah kota, seperti gerakan Kota Bima “BISA” yang sedang gencar-gencarnya dimasyarakatkan.
Inisiatif inovasi daerah dapat berasal dari kepala daerah, anggota DPRD, Aparatur Sipil Negara, perangkat daerah, lembaga pendidikan, pihak swasta, dan masyarakat.
Di antara muara dari inovasi daerah adalah terciptanya daya saing. Daya saing daerah adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional. Centre for Urban and Regional Studies (Abdullah, 2002) mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya.
Daya saing sebagai kemampuan suatu perekonomian dari kemampuan sektor swasta atau perusahaan. Daya saing adalah “kompetisi”. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan (level of living) adalah konsep yang maha luas pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan ekonomi. Perumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan masyarakat.
Model inovasi quadruple helix merupakan model inovasi yang menekankan pada kerjasama antara empat unsur yaitu pemerintah daerah/otoritas publik; industri; universitas/sistem pendidikan; dan komunitas masyarakat/pengguna. Empat unsur tersebut bekerjasama secara dinamis dan membentuk helix yang saling overlapping menuju ke arah pengembangan daerah. Model quadruple helix dapat digunakan sebagai model inovasi daerah dengan konsep kustomisasi (customized) disesuaikan dengan kondisi sumber daya yang ada pada daerah itu sendiri.
Membangun daya saing daerah, bukanlah pekerjaan mudah dan dapat dilakukan dalam jangka waktu pendek. Karena daya saing daerah bersifat multidimensi. Menciptakan daya saing daerah, tidaklah mudah karena menghadapi berbagai kendala, antara lain : kelembagaan, keamanan, politik, dan sosial budaya, ekonomi daerah, tenaga kerja, dan infrastruktur fisik.
Yawson (2009) menyatakan bahwa pada sistem triple helix, negara, universitas dan industri melewatkan sebuah helix ke-empat yang penting, yaitu masyarakat. Oleh karena itu dalam perkembangannya muncul model inovasi quadruple helix (QH). Konsep QH ini merupakan pengembangan dari TH dengan pihak ke-empat yang bermacam-macam misalnya manajer pengembangan pendidikan dan kewirausahaan (Rebernik, 2009); masyarakat sipil (Carayannis & Campbell, 2012), kelompok aktor inovasi (Fuzi, 2013).
Model quadruple helix berperan penting sebagai inovasi daerah dengan mengintegrasikan empat aktor utama: pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat. Kolaborasi dinamis antar aktor ini menciptakan ekosistem inovasi yang berkelanjutan dan responsif terhadap kebutuhan daerah.
Peran masing-masing aktor dalam quadruple helix. Pertama, pemerintah. Berperan sebagai fasilitator, pembuat kebijakan, dan penyedia infrastruktur untuk mendukung inovasi. Kedua, akademisi. Berperan sebagai pusat penelitian, pengembangan pengetahuan, dan transfer teknologi untuk mendorong inovasi. Ketiga, industri. Berperan sebagai penggerak ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan pengimplementasi inovasi di pasar. Keempat, masyarakat. Berperan sebagai konsumen, pengguna, dan juga sebagai sumber ide dan masukan untuk inovasi yang berkelanjutan.
Manfaat quadruple helix dalam inovasi daerah. Pertama, meningkatkan daya saing daerah. Dengan kolaborasi yang efektif, daerah dapat menciptakan produk dan layanan inovatif yang lebih kompetitif di pasar. Kedua, mendorong pertumbuhan ekonomi. Inovasi yang dihasilkan dari quadruple helix dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan daerah. Ketiga, memecahkan masalah lokal. Model ini memungkinkan pemecahan masalah yang lebih efektif dengan melibatkan berbagai perspektif dan sumber daya. Keempat, menciptakan ekosistem inovasi berkelanjutan. Dengan adanya interaksi yang berkelanjutan antar aktor, inovasi dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan.
Quadruple helix merupakan model inovasi yang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing daerah. Dengan kolaborasi yang kuat antar aktor, daerah dapat menciptakan ekosistem inovasi yang berkelanjutan dan mampu menjawab tantangan yang dihadapi.
Salah satu sumber keunggulan kompetitif atau daya saing suatu daerah adalah inovasi. Pertumbuhan pembangunan perlu digerakkan oleh strategi yang tidak saja semakin efisien, namun mengedepankan inovasi dengan mendayagunakan Iptekin (innovation driven).
Inovasi dalam pembangunan merujuk pada penerapan cara, proses, atau ide baru yang memberikan nilai tambah dalam berbagai aspek pembangunan, seperti ekonomi, sosial, dan lingkungan. Inovasi ini dapat berupa teknologi baru, model bisnis yang inovatif, kebijakan yang lebih efektif, atau perubahan cara kerja yang lebih efisien.
Di antara inovasi dalam pembangunan. Pertama, inovasi teknologi. Pengembangan aplikasi seluler untuk layanan publik, sistem pembayaran digital, atau teknologi pertanian yang lebih efisien. Kedua, inovasi bisnis. Munculnya startup yang menawarkan solusi inovatif untuk masalah sosial, seperti platform crowdfunding untuk kesehatan atau akses keuangan. Ketiga. inovasi pendidikan. Penerapan pembelajaran daring, kurikulum yang adaptif, dan penggunaan teknologi dalam proses belajar mengajar. Keempat, inovasi pelayanan publik. E-government, smart city, dan pelayanan publik yang terintegrasi secara online. Kleima, inovasi lingkungan. Pemanfaatan energi terbarukan, pengelolaan sampah yang lebih baik, dan praktik pertanian berkelanjutan.
Manfaat inovasi dalam pembangunan. Pertama, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Inovasi dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan produktivitas, dan membuka peluang pasar baru. Kedua, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Inovasi dapat memberikan akses yang lebih mudah ke layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan keuangan, serta meningkatkan kualitas hidup. Ketiga, mendukung pembangunan berkelanjutan. Inovasi dapat membantu mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, memanfaatkan sumber daya secara lebih efisien, dan menciptakan solusi untuk masalah lingkungan. Keempat, meningkatkan daya saing. Inovasi dapat membuat suatu daerah atau negara lebih kompetitif di pasar global.
Inovasi menjadi kunci penting dalam menghadapi tantangan pembangunan di era globalisasi dan perubahan yang cepat. Dengan terus mendorong inovasi, kita dapat menciptakan solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk berbagai masalah pembangunan, serta mencapai tujuan pembangunan yang lebih baik.
Faktor-faktor yang mendukung inovasi. Pertama, kebijakan yang mendukung. Pemerintah perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi inovasi melalui regulasi yang tepat, insentif fiskal, dan dukungan riset dan pengembangan. Kedua, infrastruktur yang memadai:
Ketersediaan infrastruktur teknologi, transportasi, dan energi yang handal sangat penting untuk mendukung penerapan inovasi. Ketiga, SDM yang berkualitas. Keempat, peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia sangat dibutuhkan untuk mendorong munculnya ide-ide baru dan kemampuan untuk mengimplementasikannya. Kelima, kolaborasi antar stakeholder. Sinergi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga penelitian, dan masyarakat sipil sangat penting untuk menciptakan ekosistem inovasi yang kuat.
Industri Kreatif Tangguh dan Berkelanjutan
Konsep quadruple helix merupakan solutif maker yang efektif bagi peningkatan produk dan juga jasa usaha industri kreatif. Pentingnya kebijakan dan praktik untuk interaksi yang cerdas, efektif dan efisien antara pemerintah, universitas, industri, dan komunitas (Carayannis & Campbell, 2010). Penelitian Praswati (2017) tentang konsep helix empat kali lipat berkontribusi pada proses inovasi (industri, universitas, pemerintah, dan kemudian pelaku usaha). Empat di antaranya terintegrasi untuk mempercepat proses pembetukan inovasi. Pentingnya integrasi antara para pelaku dalam sistem helix telah berkembang menjadi era inovasi. Di era ini, koneksi akademik, pemerintah dan perusahaan serta dukungan masyarakat akan digunakan dalam produk dan layanan yang sangat inovatif. Ciptakan ide-ide baru (Sumadi, 2018).
Dukungan kerjasama dan interaksi antar pihak akademisi/perguruan tinggi, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat adalah pendorong terciptanya kreativitas, gagasan, pengetahuan serta teknologi (website Kota Padangsidimpuan, 2022). Ranga (2013) Melakukan penelitian tentang pengaruh dukungan pemerintah dan perguruan tinggi terhadap transfer kreativitas, yang juga menjelaskan bahwa kreativitas lahir dari partisipasi intelektual (perguruan tinggi), perusahaan, masyarakat dan pemerintah. Memberikan dukungan dan menciptakan suasana untuk pengembangan perilaku kreatif.
Kembali pada kolaborasi triple helix. Pembinaan dan pengembangan industri kreatif selama ini disinyalir belum optimal dari instansi terkait dan mereka membutuhkan bantuan agar mampu tumbuh dan bersaing. Pihak yang dianggap mampu memberikan bantuan untuk pengembangan industri kreatif yaitu intellectuals, government dan business (triple helix). Kolaborasi dari tiga aktor triple helix dianggap mampu meningkatkan kreativitas, ide dan skill (Etzkowitz, 2008). Kolaborasi yang baik ketiga aktor triple helix diharapkan tercipta sinergi yang menguntungkan dan seimbang dan masing-masing dapat memainkan perannya secara optimal demi mewujudkan industri kreatif yang tangguh dan berkelanjutan.
Penting bagi setiap industri untuk memiliki keunggulan bersaing yang tepat agar dapat bertahan. Keunggulan kompetitif menurut Cegliński (2017), adalah strategi keuntungan perusahaan yang berkolaborasi untuk bersaing lebih efektif di pasar. Strategi harus dirancang untuk mewujudkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, sehingga perusahaan dapat mendominasi pasar lama dan pasar baru.
Salah satu cara untuk mencapai keunggulan kompetitif tersebut, menurut hasil penelitian Naguib Elsaid & Elsaid (2017), hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kapabilitas dinamis perusahaan. Intelektual perusahaan seringkali tidak cukup untuk mendukung kinerja yang signifikan dalam lingkungan yang berubah dengan cepat. Oleh karena itu, dalam suatu lingkungan, kinerja yang unggul bergantung pada kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, membangun, dan mengkonfigurasi ulang sumber daya ini, suatu proses yang disebut kemampuan dinamis (Aminu & Mahmood, 2015).
Konsep kapabilitas dinamis menurut Ferreira, et al. (2020) merupakan bagian dari kompetensi yang memungkinkan perusahaan untuk menciptakan produk atau proses baru dan merespon perubahan kondisi pasar. Tresna & Raharja (2019) mengatakan bahwa wirausahawan tidak hanya sekadar menyesuaikan strategi internal untuk merespon perubahan lingkungan, tetapi juga mampu mengembangkan kemampuan unik yang tidak dimiliki oleh kompetitor.
Sirkulasi triple helix merupakan penggerak lahirnya kreativitas, ide, dan keterampilan (Etzkowitz, 2008).
Kinerja industi kreatif saat ini masih lemah karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia terutama lemahnya kapabilitas inovasi para pelaku usaha. Peran triple helix bagi pengembangan industri kreatif sangat penting, dan diharapkan mampu mendorong kapabilitas inovasi pelaku usaha dan berdampak pada keunggulan bersaing dan kinerja (Asyhari dan Wasitowati, 2015).
Salah satu kunci keberhasilan pengembangan ekonomi kreatif adalah edukasi industri rumahan dan pembuatan produk kreatif yang ramah lingkungan. Produk kreatif ramah lingkungan kini semakin diminati oleh konsumen yang peduli terhadap keberlanjutan. Tak heran, para pelaku industri rumahan mulai beralih ke praktik ramah lingkungan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Dengan menggunakan bahan baku dari sumber daya alam terbarukan, mengurangi emisi karbon, dan mengelola limbah dengan baik, produk kreatif menjadi lebih ramah lingkungan dan menarik bagi pasar yang lebih luas.
Selain mengurangi dampak lingkungan, pembuatan produk kreatif ramah lingkungan juga memberikan manfaat ekonomi. Pelaku industri rumahan dapat menghemat biaya produksi karena penggunaan bahan baku yang lebih ramah lingkungan, sehingga meningkatkan keuntungan mereka. Produk ramah lingkungan juga memiliki daya saing yang lebih tinggi di pasar global, yang semakin sadar akan isu-isu keberlanjutan (Panda, 2024).
Bagi konsumen, produk kreatif ramah lingkungan menawarkan pilihan yang lebih sehat dan aman. Produk-produk ini bebas dari bahan kimia berbahaya, sehingga aman digunakan dan tidak merusak kesehatan. Memilih produk ramah lingkungan juga merupakan bentuk dukungan terhadap pelaku industri rumahan yang berkontribusi pada pelestarian lingkungan.
Untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang berkelanjutan, edukasi memainkan peran penting. Pelaku industri rumahan perlu mendapatkan pelatihan tentang praktik ramah lingkungan, baik dalam hal bahan baku, proses produksi, hingga pengemasan. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup, mereka dapat menghasilkan produk kreatif yang tetap berkualitas tinggi namun berdampak rendah pada lingkungan (Panda, 2024).
Dengan menggabungkan industri rumahan dan pembuatan produk kreatif ramah lingkungan, kita dapat menciptakan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga ramah lingkungan. Mari bersama-sama mendukung perkembangan ekonomi kreatif berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik.
Kendala Membangun Quadruple Helix
Sehebat apapun sebuah program pasti menghadapi tantangan dan kendala, sekecil apapun termasuk dalam membangun quadruple helix.
Kendala dalam membangun model quadruple helix dalam konteks inovasi dan pengembangan wilayah, terutama di daerah dengan karakteristik tertentu, dapat mencakup beberapa aspek. Beberapa tantangan umum meliputi rendahnya tingkat inovasi di daerah tersebut, kurangnya pemetaan rantai pasok dan distribusi nilai, serta kurangnya kolaborasi yang efektif antar aktor yang terlibat. Selain itu, perbedaan kepentingan dan tujuan antar sektor (pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat) juga dapat menjadi hambatan (AI, 2025).
Beberapa daerah, terutama yang masih dalam tahap pengembangan, mungkin memiliki tingkat inovasi yang rendah, baik dalam hal teknologi maupun model bisnis. Hal ini dapat menghambat terciptanya ekosistem inovasi yang kuat.
Untuk membangun model quadruple helix yang efektif, pemahaman yang jelas tentang rantai pasok dan bagaimana nilai diciptakan dan didistribusikan antar sektor sangatlah penting. Jika hal ini belum terpetakan dengan baik, akan sulit untuk mengidentifikasi peluang kolaborasi dan intervensi yang tepat.
Meskipun model quadruple helix menekankan pentingnya kolaborasi, pada praktiknya, membangun kemitraan yang efektif antar sektor (pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat) seringkali menjadi tantangan. Perbedaan budaya kerja, kepentingan, dan tujuan antar sektor dapat menghambat terciptanya sinergi.
Setiap sektor dalam model quadruple helix memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda. Pemerintah mungkin fokus pada pembangunan ekonomi daerah, akademisi pada penelitian dan pengembangan, industri pada keuntungan, dan masyarakat pada kesejahteraan. Perbedaan ini perlu dikelola dengan baik agar tidak menjadi penghalang bagi kolaborasi.
Pembangunan model quadruple helix membutuhkan sumber daya yang cukup, baik dari segi finansial, manusia, maupun teknologi. Keterbatasan sumber daya di daerah tertentu dapat menjadi hambatan dalam menjalankan berbagai program dan inisiatif yang diperlukan.
Masyarakat mungkin belum memiliki pemahaman yang cukup tentang pentingnya inovasi dan bagaimana mereka dapat terlibat dalam proses inovasi. Hal ini dapat menghambat partisipasi aktif masyarakat dalam model quadruple helix. Membangun model quadruple helix yang efektif membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan terencana untuk mengatasi kendala-kendala di atas. Memperkuat kolaborasi, meningkatkan literasi inovasi, dan memastikan alokasi sumber daya yang tepat adalah kunci keberhasilan.
Ketika sebelumnya triple helix dipraktekan di beberapa wilayah, pun menemui sejumlah tantangan dan kendala. Tri Widodo Wutomo (Usman, 2024) menjelaskan bahwa triple helix adalah sebuah konstruksi sinergis antara pemerintah, industri, dan lembaga penelitian/pendidikan (terutama perguruan tinggi) yang diyakini menjadi faktor kunci untuk berkembangnya inovasi. Dalam sistem konfigurasi ini, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan perangkat kebijakan yang kondusif untuk tumbuhnya iklim usaha yang sehat dan budaya penelitian di kalangan masyarakat terpelajar, termasuk penyediaan anggaran dan berbagai skema insentif untuk mendorong knowledge production dan knowledge transfer di berbagai bidang. Sementara itu, lembaga riset dan perguruan tinggi selain bertugas mendidik tenaga terampil, juga wajib melakukan penelitian untuk melahirkan ide-ide, teori-teori dan model-model ilmu dan pengetahuan baru untuk mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan di berbagai sektor. Adapun industri berperan untuk menyerap produk-produk kreatif perguruan tinggi, menyerap tenaga kerja, dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Bukankah itu adalah hubungan yang sangat indah?
Sayangnya, jangankan integrasi dan kohesi antar tiga pilar tadi, interaksi dan komunikasi antar sesana lembaga pemerintah, antar sesama perguruan tinggi, dan antar sesana pelaku industri pun masih sangat lemah. Alokasi anggaran untuk riset dan inovasi masih teramat kecil, sementara lembaga penelitian pemerintahan masih berjalan sendiri-sendiri. Meskipun sudah ada ARN (Agenda Riset Nasional) dan FKK (Forum Komunikasi Kelitbangan), namun keduanya belum mampu memecahkan persoalan klasik tidak sistematisnya kelembagaan dan program litbang pemerintah. Akibatnya, overlap kegiatan dan penganggaran masih menjadi pemandangan biasa bukan hanya antar instansi, bahkan dalam instansi yang sama (Jaelani, 2019).
Kondisi serupa terjadi pula di kalangan perguruan tinggi. Antar universitas terbentuk persaingan bukan dalam banyaknya karya ilmiah dan hak cipta yang dihasilknan, namun lebih pada persaingan menggaet dan meluluskan mahasiswa sebanyak-banyaknya. Yang terjadi kemudian adalah fenomena mass production yang mengabaikan kualitas. Perguruan tinggi juga terjebak pada “bisnis intelektual” dengan menjadi konsultan di berbagai tempat dan menjadikan konsentrasinya mengembangkan ilmu semakin meredup. Inilah yang dimaksud oleh Heru Nugroho sebagai banalitas intelektual (Negara, Universitas, dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi UGM, Februari 2012).
Dunia industri tampaknya juga terjangkit “penyakit” yang serupa karena terjebak pada nafsu profit maximization dan melupakan kepentingan bangsa yang lebih besar. Konsep “bapak asuh” dari perusahaan besar kepada perusahaan kecil tinggal cerita, sementara banyak pengusaha merasa sudah selesai menjalankan tugas sosialnya setelah mengeluarkan dana CSR (corporate social responsibility). Pengangguran masih saja menjadi masalah besar bangsa ini karena dunia usaha tidak sanggup menampungnya. Bahkan sarjana-sarjana menganggur juga semakin biasa kita saksikan. Banyak perusahaan juga membentuk unit R & D-nya masing-masing dan tidak memanfaatkan hasil riset dari perguruan tinggi. Lembaga riset perusahaan dan litbang perguruan tinggi seolah-olah adalah dua dunia yang berbeda dan dipisahkan oleh jarak yang amat jauh.
Deskripsi di atas mengilustrasikan tidak bekerjanya mekanisme triple helix di negeri kita. Dan ini menjadi faktor yang memperumit upaya menumbuhkan inovasi. Oleh karena itu, revitalisasi triple helix hanya bisa dilakukan jika ada proses untuk melakukan revitalisasi peran masing-masing pilar. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk menunjukkan komitmen melalui perumusan kebijakan yang berpihak pada pengembangan ilmu dan teknologi. Anggaran riptek dan litbang sudah saatnya dinaikkan secara signifikan, paling sedikit 2 persen dari total APBN dan APBD. ARN perlu disempurnakan dengan memperluas area litbang yang secara riil dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah, sementara mekanisme koordinasi antar lembaga litbang pemerintah perlu ditata ulang agar dapat menghasilkan efek mainstreaming dalam pengusulan program dan anggaran litbang. Pemerintah juga harus segera menyusun rancang bangun pengembangan teknologi dan inovasi dalam jangka menengah dan panjang, yang antara lain berisi tentang skema pembiayaan program-program strategis litbang/riptek nasional, skema pengembangan SDM litbang/riptek, dan seterusnya (Kholis, dkk., 2021).
Selanjutnya, perguruan tinggi juga tidak boleh tinggal diam dan bertahta dalam comfort-zone. Para pendekar dari kawah Candradimuka harus turun gunung dan membantu menyelesaikan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, bukan membantu sebuah lembaga secara personal. Perguruan tinggi harus memiliki peta permasalahan yang jelas dan menetapkan agenda litbang yang jitu untuk mengatasi masalah tersebut. pada saat bersamaan, kalangan industri dituntut semakin membuka diri terhadap dunia luar. Mereka perlu menjalin kerjasama yang lebih intens dengan perguruan tinggi, misalnya untuk mengadopsi hasil risetnya, atau untuk menampung para alumninya, untuk turut membiayai sebagian proyek litbangnya, dan seterusnya. Sebaliknya, perguruan tinggi juga harus komit untuk memenuhi sebagian kebutuhan pelaku industri, untuk memobilisasi SDM riset, untuk melakukan inkubasi inovasi, dan seterusnya (Usman, 2024).
Secara konseptual, semua upaya itu cukup mudah dilaksanakan, namun yang sulit adalah komitmen untuk memulainya. Yang pasti, jika negeri ini tidak segera merekonstruksi triple helix dalam kerangka Sistem Inovasi Nasional (SIN), jika anggaran litbang/riptek tidak juga mengalami perbaikan, jika setiap pilar masih saja berpikir egosentris, maka Indonesia akan semakin tertinggal dengan negara lain dan inovasi hanya tinggal sebagai mimpi.
Semoga bermanfaat !
*Dosen Universitas Mbojo Bima












