Kota Bima, Kahaba.- Muhammad Syahwan memberikan sanggahan terkait penjelasan H Sutarman mengenai krisis air bersih yang terjadi di hampir seluruh Indonesia, termasuk di Kota Bima. Menurut alumni UGM Teknik Geologi itu, penjelasan H Sutarman selaku pemilik Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Rangga, tidak obyektif dan mengaburkan permasalahan yang terjadi sesungguhnya. Baca. Krisis Air di Kota Bima, 6 Perusahaan Air Harus Bertanggungjawab)
Seperti uraian tentang air tanah dalam yakni air yang terdapat dalam lapisan khusus, yang disebut akuifer dan keberadaan tidak dipengaruhi oleh musim. Menurut Syahwan, ini justru sangat berbeda dengan siklus hidrologi yang salam ini menjadi acuan air tanah dalam. (Baca. Krisis Air di Kota Bima, Cara Pandang Syahwan Dinilai Keliru)
Ia menjelaskan, di dalam siklus, air tanah dalam itu dipengaruhi oleh musim hujan dan kemarau. Dan yang perlu diingat, mengalirnya air pada akuifer lapisan pasir yang sangat baik, pernah diteliti 1 kilometer air menempuh dalam waktu 1 tahun. Artinya, banyak cadangan air tanah dalam, sangat dipengaruhi oleh musim. (Baca. Sepakat Dengan Penjelasan Syahwan Soal Air, Haris: Perlu Diperkuat dengan Perda)
“Apabila terjadi kemarau tahun ini, dampak krisis air tanah tidak lantas dirasakan warga Kota Bima pada tahun ini. Tapi akan berdampak pada tahun – tahun mendatang. Sehingga kewajiban dari pemilik perusahaan AMDK untuk melestarikan alam sekitarnya. Itu merupakan kewajiban perusahaan. Lantas pertanyaannnya, apa pernah perusahaan itu melakukan upaya pelestarian lingkungan,” sorotnya.
Syahwan mengakui, memang selama ini krisis air tanah Kota Bima dipengaruhi oleh kurangnya vegetasi atau pohon sebagai penyangga air yang berada di pada hulu atau pegunungan. Ini sudah terjadi di Kota Bima, sehingga ia mengharapkan untuk semua pengguna bor dalam untuk memahami bahwa cadangan air di Kota Bima mulai krisis, karena juga disebabkan oleh pegunungan yang tandus.
Ia memberi analogi jika banyaknya titik bor yang berada di Kota Bima. Sekarang di daerah Kecamatan Mpunda dan Kecamatan Raba, memiliki sumur bor dalam ada sekitar 10 unit. Apakah pengambilan secara masif ini tidak mempengaruhi kondisi muka air. Jelas jika pengeboran tersebut berpengaruh dan akan membawa dampak buruk bagi lahan pertanian dan pemukiman.
ASN Kota Bima ini juga membantah tentang pernyataan H Sutarman tentang pola aliran air tanah yang tidak memiliki pola aliran. Menurut hasil tesis yang dilakukannya, bahwa air tanah itu memiliki pola aliran air tanah.
“Kita bisa melihat peta yang ditampilkan dalam berita ini, bahwa cekungan air tanah Kota Bima terdapat di daerah Kecamatan Mpunda, Kecamatan Raba dan sekitarnya. Apabila semua bor dalam berada di dareah tersebut, otomatis sangat mempengaruhi permukaan air tanah di Kota Bima,” tuturnya.
Secara umum sambungnya, pola aliran tanah di Kota Bima mengalir dari timur ke barat. Untuk intruksi air laut, sangat ada berpotensi. Semua bisa melihat sejauh mana peta batas intruksi air tanah di Kota Bima, dan yang terbaru di Jakarta, intruksi air tanah sudah mencapai Monas. Itu diakibatkan pengambilan air tanah yang berlebihan.
“Maka apabila daerah Kecamatan Raba dan Mpunda terus diambil, intruksi air laut juga akan sangat berpotensi terjadi,” ungkapnya.
Syahwan menegaskan, dirinya tidak memberikan gambaran yang menakutkan kepada masyarakat. Tapi jika aktivitas pengambilan air ini terus dilakukan tanpa dikontrol, gambaran yang diulasnya niscaya akan terjadi. Karena masalah kriris air tanah di Kota Bima yang semakin parah, bukan semata – mata dipengaruhi oleh faktor cuaca.
Ia juga menguraikan, dari beberapa titik sumur bor di Kota Bima yang berdekatan, sangat mempengaruhi penurunan permukaan air tanah. Coba dilihat pada Kota Semarang dan Kota Bandung yang sering terjadi amblasan tanah, dipengaruhi oleh penurunan muka air tanah.
“Pernyataan H Sutarman yang mengatakan air tanah tidak mempengaruhi muka air tanah, itu tidak sesuai dengan fakta yang ada. Sebab, di beberapa tempat, justru itu terjadi,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, Syahwan menjelaskan sejumlah regulasi tentang pengelolaan air tanah. Seperti pada Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pengusaha Sumber Daya Air, tertera jelas pada pasal 43 ayat 2 huruf i, memberikan 15 persen dari batas debit pengusaha air tanah yang ditetapkan dalam izin bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari – hari masyarakat.
Kemudian Peraturan Kementrian Perindustrian Nomor 96/M-IND/PER/12/2011 tentang persyaratan teknis industri air dalam kemasan, pada pasal 4 ayat 1 menyebutkan setiap industri air minum kemasan wajib berlokasi pada kawasan industri. Pertanyaannya, apakah kemudian ini sesuai dengan RTRW Kota Bima.
*Kahaba-01