Oleh: Ririn Kurniawati*
Isu lingkungan semestinya menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan, salah satunya adalah masalah banjir yang melanda hampir semua daerah di Indonesia. Sebagian besar musibah banjir yang terjadi di kota-kota seluruh Indonesia terjadi akibat “salah urus lingkungan” dengan kata lain, sebagai akibat dari perbuatan manusia alih-alih karena kondisi alam, kondisi alam hanya menyumbang sebagian kecil dari penyebab terjadinya banjir, sebut saja perambahan hutan, penggunaan kawasan resapan air sebagai kawasan terbangun, mengecilnya kapasitas sungai, memburuknya kondisi drainase dan masih banyak lagi ulah manusia yang menyebabkan terjadinya banjir.
Di Kota Bima sendiri banjir masih menjadi momok yang menghantui kehidupan masyarakat. Kejadian banjir bandang pada akhir tahun 2016, ibarat mimpi buruk yang akan terus terjadi, terutama bila musim penghujan tiba. Sejak banjir bandang pada 21-23 Desember 2016 tercatat sudah beberapa kali Kota Bima mengalami bencana banjir, kondisi tutupan lahan pada bagian hulu merupakan salah satu penyebab potensial banjir di Kota Bima, air hujan sudah tidak lagi terserap oleh tanah tetapi langsung ke sungai menuju laut.
Kondisi tutupan lahan di hulu yang kini berfungsi sebagai ladang jagung, selain mengurangi daerah resapan air juga membawa sedimen pada saat musim penghujan, menuju ke sungai yang mengurangi kapasitas sungai, sehingga menyebabkan air sungai meluap ke area permukiman warga pada saat musim penghujan.
Sementara itu di sisi lain, pada saat musim kemarau sebagian besar masyarakat mengeluh, sumur bor dangkal mengalami kekeringan, air tanah mengalami penurunan, padahal sebagian besar masyarakat di Kota Bima mengandalkan sumur bor dangkal sebagai sumber air bersih. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka dapat dipastikan pada musim penghujan banjir akan terus melanda dan musim kemarau kekeringan akan terus menghampiri.
Hal yang paling mendasar tentang penyebab utama banjir di Kota Bima yaitu perladangan liar yang kian luas merambah, Pemerintah tidak berdaya dengan dalih lahan adalah milik masyarakat dan masyarakat berhak mencari nafkah. Padahal sejatinya, tugas Pemerintah untuk mencarikan alternatif kegiatan ekonomi lainnya yang tidak merusak lingkungan dan mengendalikan semua kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat,agar tetap berada pada koridor aturan.
Berdasarkan data capaian Pembangunan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kota Bima terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dari angka 83,84 tahun 2019 menjadi 56,08 pada tahun 2022. Indeks kualitas hidup terdiri dari 3 indikator utama yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang menurun menunjukkan kalau Kualitas air Sungai, Kualitas udara, dan tutupan lahan Kota Bima mengalami degradasi yang cukup signifikan. Permasalahan nyata sebagai akibatnya adalah banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Sampai saat ini pun, belum ada upaya nyata yang dilakukan untuk mencegah terjadinya banjir, apalagi prediksi cuaca pada bulan-bulan ini curah hujan cenderung meningkat. Bahkan diprediksi oleh BMKG La Nina akan datang menghampiri, tentu saja harapan kita bersama prediksi ini meleset.
Bagaimana solusi tercepat untuk mengatasi kondisi yang selalu terjadi tiap tahun ini? Mari kita pikirkan bersama
Menurut Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, dalam Undang Undang ini perizinan usaha disederhanakan menjadi persetujuan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan dan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi. Setiap izin usaha wajib mendapatkan persetujuan pemanfaatan ruang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan apabila melanggar, dapat dikenai pidana paling lama 3 tahun dengan denda maksimal Rp 1 Miliar bagi yang tidak menaati tata ruang, apabila mengakibatkan kerugian terhadap harta benda dan kerusakan barang dikenai pidana paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 2,5 Miliar dan apabila mengakibatkan kehilangan nyawa dikenai pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 8 Miliar.
Dalam hal persetujuan lingkungan, pemerintah bahkan telah menyederhanakan prosedur untuk persetujuan lingkungan dari prosedur sebelumnya izin lingkungan, setiap warga yang melakukan usaha wajib mendapatkan persetujuan lingkungan dengan mengajukan AMDAL, UKL/UPL, atau SPPL untuk setiap jenis usaha yang akan dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup Atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup.
Pertanian jagung adalah salah satu jenis usaha yang termasuk harus memiliki persetujuan lingkungan, termasuk dalam usaha pertanian dengan kategori jika luasan tanam > 2000 hektar wajib memiliki AMDAL, 25 <x<2000 hektar wajib memiliki UKL UPL dan jika luasan tanam < 25 hektar wajib memiliki Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan. Bahkan bila dilihat dari lokasi penanaman yang dilakukan di bagian hulu pertanian jagung di Kota Bima, wajib memiliki AMDAL dengan alasan ilmiah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup adalah berkaitan dengan kerusakan sumber daya Lingkungan seperti sumber daya air dan kualitas tanah, sebagaimana kondisi yang telah terjadi di Kota Bima beberapa tahun terakhir ini, dan setiap orang yang berusaha tapi tidak memiliki persetujuan lingkungan dari pemerintah yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau Lingkungan Hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 Miliar dan paling banyak Rp 3 Miliar.
Penegakan aturan merupakan hal yang belum pernah dilakukan dalam penyelesaian permasalahan lingkungan yang terjadi di Kota Bima, terutama alih fungsi lahan menjadi pertanian jagung yang terjadi besar-besaran pada bagian hulu. Padahal instrument penegakan hukum telah disiapkan, entah apa yang menjadi kendala terbesar sampai pemerintah tidak berdaya dan membiarkan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Upaya lain yang belum juga dilakukan adalah Upaya restorasi tutupan lahan agar kembali seperti fungsi semula, dari tahun ke tahun belum ada upaya nyata yang dilakukan, bahkan luasan tutupan lahan di hulu yang terjadi alih fungsi semakin bertambah setiap tahunnya.
Penyelesaian permasalahan lingkungan di Kota Bima memang merupakan persoalan yang pelik dan berat, penyelesaiannya adalah penyelesaian jangka Panjang yang butuh waktu seperti pengembalian fungsi tutupan lahan di hulu dan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Namun hal ini bukan berarti tidak ada upaya nyata yang bisa dilakukan, salah satu alternatif yang dapat cepat dilakukan adalah melalui penegakan aturan dan sedikit demi sedikit mengurangi luasan alih fungsi lahan di bagian hulu, melalui rekayasa sistem pertanian masyarakat. Sistem pertanian masyarakat diubah menjadi terasering dengan pagar hidup di setiap 10 meter area penanaman, sehingga diharapkan ada tanaman yang akan menahan laju air dan sedimen yang selama ini langsung terbuang dan tidak terserap.
Tentu saja ini hanyalah sebuah alternatif jangka pendek yang dapat segera mungkin dilakukan daripada tidak sama sekali. Penyelesaian jangka panjang dan berkelanjutan merupakan suatu keharusan yang termuat dalam Rencana Pembangunan Kota Bima baik itu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), termasuk di antaranya bagaimana mengembalikan fungsi kawasan hulu menjadi fungsi resapan air, mengelola sumber daya air yang berkelanjutan maupun pengembangan perekonomian masyarakat yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.
Mari kita sama-sama kembali mencintai alam, karena potensi yang ada sekarang bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk anak cucu kita di masa depan nanti. Wallahualam
*Penulis ASN Kota Bima dan Alumni Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang