Opini

Kapan Bima Bebas Banjir?

1128
×

Kapan Bima Bebas Banjir?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Suhairin*

Kapan Bima Bebas Banjir? - Kabar Harian Bima
Dosen Teknik Pertanian Universitas Muhammadiyah Mataram, Pemerhati DAS, Suhairin. Foto: Ist

Banjir erat hubungannya dengan tanah dan tanaman (vegetasi). Pada tahun 1990-an Bima (dan Dompu pada umumnya) resistan terhadap hujan. Berapa pun lama hujan (satuan waktu), berapa pun derasnya (jumlah), dan sesering apa pun (intensitas) Bima tidak akan terjadi banjir, yang terjadi hanyalah genangan kecil dan akan hilang beberapa saat setelah hujan berhenti.

Tapi akhir-akhir ini seiring dengan populasi penduduk yang terus bertambah menyebabkan rasio antara ketersediaan lahan budidaya pertanian dengan jumlah penduduk menjadi tidak seimbang. Akibatnya mau tidak mau, dilarang tidak dilarang perambahan hutan menjadi pilihan.

Peralihan fungsi hutan menjadi area budidaya pertanian semakin masif seiring dengan munculnya komoditi primadona, yang pabrik penampungnya menjalar dari Kabupaten Sumbawa hingga ke Bima. Demi memenuhi syarat tumbuh komoditi primadona tersebut, masyarakat membersihkan lahan dari pepohonan dan membiarkannya terbuka sepanjang tahun sampai musim hujan berikutnya.

Keadaan inilah yang membuat interaksi antara air hujan, vegetasi, dan tanah menjadi tidak berimbang. Ketidakseimbangan ketiga komponen ini ditengarai menjadi penyebab terjadinya banjir langganan di Bima.

Siklus air

Pada dasarnya jumlah air di bumi ini adalah tetap. Perubahan hanya terjadi pada sifat, bentuk, dan persebarannya. Air akan mengalami perputaran dan perubahan bentuk selama siklus hidrologi berlangsung.

Siklus air bisa berlangsung karena adanya terik matahari pada siang hari menyebabkan air di permukaan bumi, permukaan laut, sungai- sungai menguap (evaporasi) dan di dalam jaringan tanaman ikut menguap, transpiration. Uap air akan terus naik hingga mengalami pengembunan condensation, membentuk awan. Awan terus menerus mengalami pendinginan sampai membentuk butiran-butiran yang lebih besar, kemudian jatuh sebagai hujan. Airhujanyangjatuh ke permukaan bumisebagian ada yang langsungmasuk ke dalam tanah (infiltrasi), dan sebagian lain mengalirlangsung sebagai aliran permukaan (runoff) (ini bisa karena tanahnya jenuh air atau karena memang tanahnya kedap air).

Dari siklus air ini dapat diartikan secara sederhana bahwa air hujan memerlukan lapisan tanah sebagai penampungnya. Selama lapisan tanah cukup tebal untuk menyimpan sejumlah air hujan maka runoff menjadi kecil sekali, bahkan bisa diabaikan, sehingga setiap kali datang hujan wilayah tersebut aman-aman saja tahan terhadap hujan.

Tetapi sebaliknya jika lapisan tanah sangat tipis bahkan tidak ada sama sekali, maka air akan langsung mengalir ke tempat yang lebih rendahtanpa terserap masuk ke tanah terlebih dahulu.

Proses infiltrasi maksimal akan terjadi di daerah-daerah ketinggian, biasanya berlereng, yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit, dan bervegetasi seperti hutan. Daerah ini biasa disebut sebagai Daerah Tangkapan Air (DTA). DTA yang baik seyogyanya akan menangkap dan menyimpan air  hujan lebih banyak kemudian mengalirkannya secara perlahan melalui sungai, bendungan, danau, dan badan air lainnya.

Deforestasi di Bima Lebih Tinggi dari Kalimantan

Bagaimana kondisi DTA di Bima? Hijriah (2020) dalam penelitiannya melaporkan bahwa setidaknya 50 persen hutan di wilayah DAS Sari (DTA yang bermuara di Kota Bima) berkurang, beralih fungsi, dari total luas 4.988 ha dalam kurun waktu 2015-2019.

Angka tersebut lebih tinggi dari angka deforestasi di Kalimantan kurun waktu 2013-2017 yang hanya sebanyak 47 persen. Jadi bisa dibayangkan Bima dengan luas hutan yang sedikit tetapi laju kerusakan hutannya (deforestasi)melampaui “raja hutan” Kalimantan.

Data ini sebagai pembanding saja, bisa jadi mewakili wilayah-wilayah lain di Bima; karena pada dasarnya hampir semua DTA di Bima mengalami kondisi yang sama.

Hubungan Vegetasi dan Tanah

Tanah sebagai penampung air tidak bisa berdiri sendiri. Tanah memerlukan pelindung dan pendukung yang selalu hadir. Hujan yang jatuh dari ketinggian membawa energi kinetik yang cukup besar, mampu memukul dan menghancurkan partikel-partikel tanah; tanah terlepas dari bongkahannya dan ikut terbawa air. Peristiwa ini disebut erosi.

Erosi yang berlebihan akan membuat sungai, waduk, dan daerah-daerah yang lebih rendah menjadi penuh dengan partikel tanah. Tanah-tanah yang berada di DTA akan terangkut ke tempat yang lebih rendah (wono, sedimen). Ini tampak sekali di Bima, air yang menerjang membawa partikel sedimen yang besar memenuhi sungai dan badan air lainnya. Lapisan tanah yang ada di wilayah DTA sebagian besar pindah ke wilayah hilir.

Terpaan hujan merupakan ancaman bagi tanah, oleh karena itu tanah memerlukan pelindung. Di sinilah kita melihat fungsi pohon. (1) Daun, tajuk, dan batang pohon menahan air hujan agar tidak langsung mengenai tanah, sehingga permukaan tanah lebih aman. Laju air hujan yang tertahan tajuk/ranting pohon akan memberi waktu lapisan tanah untuk menyerap air hujan yang telah sampai lebihduluke permukaan tanah. (2) Daun, serasah, ranting yang tua akan jatuh ke tanah dan terurai oleh cacing tanah, sira, dan mikroba lainnya; menjadi sumber hara; peristiwa ini akan menambah lapisan tanah menjadi tambah tebal. Dan (3) pohon sebagai habitat burung dan satwa lainnya, membentuk satu ekosistem; dalam satu ekosistem dimungkinkan terjadinya proses fiksasi hara seperti Nitrogen (dalam kehidupan sehari-hari masyarakat membelinya dalam bentuk pupuk urea), dan aliran energi.

Lantas Kapan Bisa Terbebas Dari Banjir?

Bima akan terbebas dari banjir ketika komponen penampung hujannya; dalam hal ini lapisan tanah; dipulihkan kembali seperti sedia kala. DTA harus disembuhkan sampai bisa berfungsi kembali. Butuh berapa lama?

Untuk menjawab ini saya coba memakai pendekatan Charles Darwin (1881), dia menulis bahwa cacing tanah mampu memindahkan tanah dari lapisan bawah ke permukaan sebanyak 2-5 cm/tahun. Jika cacing tanah tersebut tidak diganggu dan diberi kesempatan bekerja, maka dalam 10 tahun kita memiliki lapisan tanah yang bagus untuk media tumbuh vegetasi setebal 20-500 cm.

Tetapi kondisi riil lapisan tanah  DTA  di Bima adalah sudah tipis bahkan beberapa wilayah seperti Campa, Woro, Ndano tinggal batuan yang nampak (sangat mungkin daerah lain juga sama). Pendekatan ini hanya sebagai gambaran; tidak bisa dipakai, karena pola tingkah laku masyarakat yang memanfaatkan area DTA tidak mau melepas lahannya untuk berproses – suksesi (dalam ilmu ekologi)  seperti tulisan Darwin di atas.

Jika dibolehkan berandai-andai; jika seumpama pada tahun 2025 masyarakat sudah timbul kesadarannya—mau meninggalkan kegiatan budidaya pertanian di area DTA–   dan pemerintah sudah menemukan kompensasi untuk menambah kuat kesadaran tersebut, maka pada tahun 2035 diperkirakan semua DTA akan ditumbuhi oleh semak dan tunas-tunas pohon setinggi 2 meteran.

Akan lebih bagus kalau berhentinya perambahan hutan itu diikuti oleh program penanaman pohon, sehingga akan lebih cepat tercapai tujuan. Targetnya adalah mengadakan kembali lapisan tanah yang hilang melalui proses dekomposisi bahan organik (daun kering, ranting, dan kotoran burung, bangkai, dll).

Jika per tahun bertambah 1 cm; sedangkan ketebalan awal pada 2035 adalah 30 cm, maka pada tahun 2040 ketebalan tanah menjadi 35 cm. Tanah dalam keadaan jenuh (terisi air) paling tidak mengandung air sebanyak 5% dari berat totalnya. Dalam 100 kg tanah basah ada terkandung air sebanyak 0,5 liter. Tanah 100 kg jika dipindahkan ke wadah berbentuk kubus maka kira-kira akan habis terbagi kedalam luasan kubus seukuran 1 m persegi dengan tinggi 20 cm.

Kalau dikonversi lagi, setiap hektar lahan dengan ketebalan 20 cm akan menampung sebanyak 500 liter air hujan. Sementara curah hujan di Bima secara gampang digambarkan dengan menadah air hujan dari payung posisi terbalik. Di tengah payung dibuat lubang sebagai jalan keluarnya air ke botol air mineral 600 ml; butuh berapa lama sampai botol penuh, apakah yakin sampai 30 menit?

Dari ilustrasi di atas sudah bisa dibayangkan seberapa tebal lapisan tanah yang diperlukan untuk menampung sekian kubik hujan yang jatuh di DTA Bima, dan seberapa lama kita akan menunggu waktu aman, damai dari ancaman banjir.

*Dosen Teknik Pertanian Universitas Muhammadiyah Mataram, Pemerhati DAS