Mataram, Kahaba.- Penambangan emas tanpa izin (PETI) yang telah ada di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), kini menimbulkan masalah baru, yakni limbah. Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari lokasi PETI, kini telah mengancam kesehatan.
Sebagaimana yang dilansir Kompas.com, kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Pusat Data Elektronik (Humas & PDE) Sekretariat Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, Yahya Soud, Rabu (26/9), mengakui bahwa limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) akibat penggunaan merkuri pada PETI menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Hal ini disinyalir akibat maraknya penggunaan gelondong dan merkuri untuk memisahkan emas dari bebatuan.
“Kami tidak bisa memungkiri bahwa ada ancaman pencemaran akibat limbah B3. Hingga kini jumlah mesin gelondong diperkirakan mencapai lebih dari 2.000 unit dan untuk memisahkan emas dari bebatuan menggunakan merkuri dalam jumlah banyak,” ujarnya.
Ia mengemukakan, aktivitas penambangan liar di Kabupaten Sumbawa Barat relatif sulit dikendalikan. Untuk mengatasinya, memerlukan waktu dan energi, serta harus dilakukan secara arif, karena menyangkut sumber penghidupan masyarakat.
Menurut Yahya, dampak penambangan liar di Sumbawa Barat ini bukan hanya menyangkut lingkungan, tetapi juga berdampak terhadap perekonomian sebagian masyarakat, terutama yang mencari nafkah dengan cara menangkap ikan di Lebo Taliwang.
“Dengan tersebarnya isu pencemaran air di Lebo Taliwang akibat merkuri, warga sekitarnya kesulitan menjual ikan hasil tangkapannya. Ikan nila yang ditangkap di Lebo Taliwang kini kurang diminati, karena dikhawatirkan sudah tercemar,” katanya.
Menurut Yahya, air raksa atau merkuri yang masuk ke Sumbawa Barat cukup banyak. Dari satu distributor mencapai 1,6 ton setiap dua minggu atau 800 kilogram per minggu.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa Barat telah melakukan uji sampel terhadap sedikitnya 100 penderita yang diduga terkontaminasi langsung B3. Uji sampel juga dilakukan terhadap air dari ratusan sumur, fasilitas irigasi dan limbah rumah tangga di sembilan titik.
Pada penelitian tersebut diambil 100 sampel dari warga yang menderita penyakit kulit dan gemetar (tremor) akibat kram, serta gangguan jaringan otak. Jenis penyakit ini paling mungkin terjadi akibat pencemaran limbah B3. [Kompas.com/DH]