Oleh: Asrul Raman*
Sebagai spesies yang heroisme, lelaki cenderung merendahkan perempuan. Perempuan diidentikkan dengan malam, kekacauan dan imanensi [second sex]. Pandangan yang patriarkhi ini masih melekat pada kehidupan kita sehari-hari, bapak selalu terlihat garang, lelaki harus terlihat kekar dan maskulin, sehingga pada pelbagai kesempatan, lelaki lebih mulia dan tinggi derajatnya dibanding perempuan. Symbol-simbol yang mengidentikkan lelaki, seperti parang, pedang, panah, tombak, senjata api menghiasi citra kelelakian.
Pendominasian lelaki ini tentu mempertegas arogansinya sebagai manusia pertama, akibat arogansi tersebutlah muncul konflik yang tidak mempertimbangkan perempuan sebagia manusia kedua, apalagi anak.
Konflik yang selama ini terjadi hampir setiap tahun dibeberapa desa di Bima, pemicunya adalah lelaki, dengan bersenggol saat orgen tunggal bisa menyebabkan pertikaian, dengan bunyi knalpot motor bisa menyulut permasalahan, wajah konflik begitu kental dengan lelaki. Siswa sekolah yang tawuran pun berawal dari saling ejek antar lelaki. Padahal, lelaki yang menyulut pertikaian itu didik dan dibesarkan oleh wanita, diberi kasih sayang dan di rawat sepenuh hati.
Apa yang dipikirkan dari para lelaki pembuat konflik tersebut? Ini pernah terjadi pada aksi beberapa orang yang jalan kaki dari desa Oi Katupa Tambora menuju kantor Bupati Bima, mereka membawa istri dan anak-anaknya, miris melihatnya karena dalam beberapa hari setelah mendirikan tenda di lapangan ex kantor bupati muncul problem sakit disentri pada anak-anak, lagi-lagi wanita dan anak-anak menjadi korbannya, begitupun konflik yang terjadi di beberapa desa belakangan ini, para ibu-ibu tidak bisa berjualan lagi, anak-anak tidak bisa bermain seperti biasanya, perempuan di paksa diam dan bahkan mengungsi.
Ke-egoisme-an lelaki tersebut perlu dibungkam, perempuan harus mengambil peran strategis, Motherland pernah mengupasnya, perempuanlah yang menjadi pengendali kehidupan, dalam publikasi awalnya L’Exil, diperlihatkan bahwa seorang ibu mencegah anak laki-lakinya dari perkawinan, dalam Les Olympiques, remaja yang mencurahkan dirinya pada olahraga bisa dihambat oleh ibunya. Ibu diposisikan mampu mempengaruhi karena keinginanya untuk menjaga anak-anaknya lebih lama untuk dekat disamping ibunya [de Beauvoir:286]. Seorang Ibu merupakan guru yang dapat memanfaatkan anaknya, dia mampu menahan sayap anak-anaknya, mengarahkan anaknya kembali ketujuan yang di inginkan si ibu.
Pada kurun konflik yang terjadi di Bima selama ini, penulis belum mendengar bagaimana perempuan dilibatkan dalam penyelesaian konflik, padahal konflik itu perempuanlan yang mendapatkan dampak terbesarnya. Perlu di dorong pendekatan feminin dalam berbagai pembangunan di Bima, baik dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan, maupun dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh Bupati. Di Desa pun perlu memperhatikan secara serius pengarus utamaan gender dalam pembangunannya.
Gagasan penyelesaian konflik dengan pendekatan feminin tidaklah muncul begitu saja, ini telah didukung oleh bangunan politik yang ada, dalam kampanye Politik Bupati Bima, sering kita mendengar Tim Gender, yang merepresentasi posisi partisipasi dan keberpihakan kesetaraan gender dalam politik, Tim Gender ini telah terbentuk di tiap desa.
Identitas tersebut bisa dihidupkan kembali dalam mempertegas keberpihakan dan penyelesaian konflik yang sering terjadi, bupati yang direpresentasi sebagai wajah politik perempuan harus mampu mengarahkannya, agar perempuan tidak dipandang lemah, agar perempuan tidak hanya dipandang sebagai obyektivikasi seksual saja.
Penyelesaian konflik dengan pendekatan perempuan tersebut juga, agar perempuan tidak selalu di alienasi dari ruang publik, lelaki pun di dorong agar lebih mengerti perempuan, sifat feminism tersebut harus terus tumbuh dari setiap issu pengaruh utama dalam pembangunan dan inklusifitas gender.
*Direktur Lakpesdam PCNU Bima yang juga Dosen STKIP Taman Siswa Bima