Oleh: Muslimin Hamzah*
Kota Bima itu saya kategorikan Kota Gagal secara ekologi. Karena salah urus lingkungan. Ke depan banjir bandang yang menyerbu kota kian mematikan. Sanitasi kota pun tambah buruk. Tidak percaya? Datang ke kampung Sumbawa dan Tanjung. Drainase pun makin payah (Tengok Kampung Sarae, Melayu dan Bara), serta air bersih yang tambah langka. Saya sarankan pusat pemerintahan dipindahkan ke tempat yang sehat dengan daya dukung alam memadai.
Bagus ke utara, di kawasan perbukitan dari Ule hingga Kolo, sepanjang sisi timur Teluk Bima. Ketimbang dikapling Pejabat-Pejabat kaya serta Para Aseng. Kawasan itu sebaiknya dipakai untuk kemaslahatan umum. Orang Bima buat sejarahlah. Masa dari zaman prasejarah di situ terus padahal Kota Bima sudah anjlok daya dukung lingkungannya. Sumber air alaminya habis. Daerah penyimpan air di dataran tinggi di utara dan timur kota sudah amburadul. Ke depan kota akan mengalami krisis air bersih yang akut.
Lagi pula, secara historis, Kota Bima sekarang atau Mbojo dalam rumusan priyayi zaman kuno, menyimpan masa lalu yang kelam di era kerajaan dan masa penjajahan Belanda/Jepang. Di situlah para bangsawan bertindak sebagai second man, meneer bayangan, berlagak sebagai londo ireng (BELANDA HITAM) menjajah kaumnya sendiri.
Kawasan dataran tinggi di utara, selain bebas banjir juga sangat eksotik karena langsung menghadap Teluk yang jadi ikon Bima. Kawasan terbuka hijaunya kelak harus benar-benar dijaga sesuai pesan UU Lingkungan Hidup. Bentang alamnya dipertahankan, bukit-bukit jangan diratakan seperti orang mau bikin SD Inpres di zaman ORBA. Gunung-gunung sekitar dirawat hutan alamnya sebagai sumber mata air. Bikin green office, seperti Bandara Kualulumpur, siangnya pake listrik dikit, dengan serap sinar alami matahari yang melimpah, jangan seperti kantor walikota dan Bupati Bima yang boros energi.
Unutk AC dan listrik gunakan panel tenaga surya (baca: Kisah Sukses Elon Musk: Miliarder Sang Iron Man Sejati/Kompas Gramedia 2017). Wah, kawasan itu kelak mirip kota pantai di Malibu, sebuah kota dekat pantai di utara Los Angeles, California, AS atau di Monaco. Trend kota pantai juga merebak di Abu Dhabi, UEA dan sejumlah Negara Teluk di Timteng. Mereka memanfaatkan aura teluk yang indah. Termasuk pula Jakarta, bahkan pulaunya ditambah dengan jalan reklamasi. Hitung-hitung juga mengikuti visi pemerintah yang berorientasi ke laut, minimal memanfaatkan keindahan alaminya.
Sebenarnya dataran tinggi dengan gunung dan bukitnya yang mendominasi Bima tak lain adalah anugerah Allah SWT. Tapi Belanda memang orientasinya daratan atau pantai karena di negeri para Meneer atawa Belanda Kala Mada itu tidak ada gunung. Jadilah orang Bima melupakan gunung atau dataran tinggi. Gunung bahkan identik dengan keterbelakangan. Yang tinggal di dataran rendah dianggap orang beradab. Batavia (Jakarta) pun menjadi kota amburadul, juga warisan Belanda. Padahal di Eropa bangunan eksotik di kawasan pegunungan biasanya berupa istana, puri dan vila. Belanda pun bangun pasanggarahan di Donggo dan Wawo. Para meneer nipu kita.
Sebenarnya elevasi atau ketinggian tanah dari Kota Bima berada di bawah permukaan laut. Belanda sadar tapi mereka nggak ambil pusing, selain ini tanah jajahan, juga kampung halaman mereka seperti karena Rotherdam dan kota lain di Negeri Kincir Angin memang begitu posisinya. Itu sebabnya mereka simpan kantor asisten residen di Raba, yang agak tinggian. Tapi karena memang posisi kota Bima di kepung dataran tinggi, ya tetap tidak aman. Banjir bandang kerap menyerbu kota. Pasalnya sungai2 kecil dan besar mengalir ke lembah, tempat Kota Bima, mengisinya seperti sebuah cangkir. Ditambah dengan kebijakan para bupati/walikota yang nggak paham evolusi sejarah kotanya, seperti membabat mangrove atau bakau di pantai dan menimbun pantai tersebut, jadilah kota Bima kian merana. Pantai tidak berfungsi menyerap luapan air dari daratan. Sempadan sungai dan pantai digerus habis untuk bangunan.
Untuk mengendalikan banjir, Belanda dulu pernah bikin kanal yang membelah Kota Bima dari Foo Umpu Lakosa hingga Jembatan Romo menuju laut tapi orang Bima modern tak paham fungsinya. Dikiranya kanal tersebut untuk buang hajat dan sampah. Lama-lama ditimbun dua sisinya untuk menambah luas pekarangan dan rumah mereka. Hingga hanya berupa parit sepanjang satu meter.
Ke depan kota akan kian tak nyaman bahkan bisa jadi killing field atau ladang pembantaian oleh alam. Pasalnya, sebagian orang kota (Bima) cari makannya di dataran tinggi dengan membuat ladang dan tegalan. Tapi itu menghancurkan pohon-pohon dengan kualitas terbaik seperti sambi, loa, loka, luhu, due (beringin), rida, mangge (asam) dan rangga (bidara)– yang lain terjemahkan sendiri ke Bahasa Indonesia). Terbaik karena pohon itu paling bagus mengikat tanah dan mencegah banjir.
Allah sudah atur itu semua sebenarnya untuk lingkungan Kota Bima, tapi kita mengabaikannya.
Sementara di dalam kota, orang kaya semena-mena melakukan alih fungsi lahan secara masif untuk kantor atau perumahan. Pemkot juga tak kalah agresif. Keduanya sama-sama tidak peduli. Kita pun tak bisa melihat lagi situs atau kawinda dan mata air. Padahal itu stabilisator lingkungan kota. Kalau dia habis maka satu simpul pertahanan alami kota telah ambruk. Ditambah dengan perilaku pemerintah yang tidak prolingkungan, drainase misalnya tidak dibuat yang layak. Kalau pun adanya isinya sampah. Akibatnya drainase kota Bima adalah yang terburuk di Indonesia. Percuma ada pasukan kuning krn kesadaran masyarakat rendah.
Beberapa waktu lalu saya ke Penang, sebuah kota pantai di pulau mungil Malaysia utara dalam acara QNET, perusahaan networking terbesar sejagat. Penang seluas Kota Bima. Dari jendela pesawat saya dibikin kagum oleh gugusan perbukitan hijau dengan pohon endemik yang terjaga. Dari apartemen saya menginap, kawanan burung enggang bernyanyi menjelang azan subuh hingga matahari beranjak naik. Itu burung asli setempat yang terbang bebas di hutan kota bersama aneka burung lain seperti gagak. Drainase kota sangat oke. Hutan kotanya terawat. Anehnya tak terlihat pasukan kuning. Hebatnya bangunan semuanya vertikal, tidak ada lagi ‘rumah bawah’, istilah orang sana.
Saya tanya, “ada banjir”? Kata warga, “tak ada.” Kala itu saya teringat Kota Bima yang centang perenang dan menginspirasi tulisan ini. Sekaligus warning untuk ibukota Kabupaten Bima di Woha, yang juga akan menerima bala lingkungan kelak seperti banjir, karena kita tergiur dataran rendah, sebab kita cenderung cari mudahnya, dan tak mampu mengemil eksotika kawasan dataran tinggi/pegunungan kita yang hebat. Maaf kalau agak gamblang.
*Penulis Alumni IKIP Jakarta