Oleh: Irman “Mandolo”
Opini, Kahaba.- Sebuah perubahan sosial merupakan keniscayaan bagi kehidupan manusia, karena hidup itu penuh dengan dinamika. Sudarno Wiryohandoyo (Agusalim, 2002) mengatakan perubahan sosial adalah sebagai suatu proses perubahan bentuk yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat, Baik secara alami maupun karena rekayasa sosial. Secara sosiologi itulah yang dinamakan bahwa manusia itu berbudaya. Dan dalam berbudaya ini tentu ada yang bersifat konstruktif dan bahkan ada yang bersifat dekonstruksi artinya perubahan sosial tidak hanya dalam hal yang baik juga perubahan sosial dapat berupa suatu kerusakan karna tidak seutuhnya sebuah perubahan itu selalu identik dengan kebaiakan atau yang bersifat positif bagi konstruk kehidupan sosial terutama dalam kehidupan sosial politik.
Roy Bhaskar (Agusalim, 2002) mengatakan perubahan sosial meliputi beberapa proses salah satu diantaranya adalah Proses Reproduction dalam hal ini meliputi Material (kebendaan dan teknologi), dan Imaterial (non-benda, adat, norma, dan nilai-nilai). Adat, norma, dan nilai merupakan suatu hukum yang membentuk pola perilaku kehidupan sosial bagi masyarakat, para tokoh sosiologi makro diantaranya Emile Durkheim mengatakan bahwa manusia atau masyarakat itu bertindak selalu dipengaruhi oleh faktor eksternal, artinya bahwa masyarakat bertindak berdasarkan pengaruh norma-norma, dan nilai-nilai yang bersifat struktur. Meski dalam suatu perubahan ada kemungkinan terjadinya kemunduran atau terdapat hal yang negatif, itu semua tergantung bagaimana orientasi pelaku perubahan, artinya motif seseorang atau kelompok itu dalam melakukan sebuah gerakan dan bagaimana proses yang akan dilaksanakannya itu memiliki sikap dalam ruang kepentingan umum masyarakat, maka disitu akan berpeluang terjadinya sebuah perubahan yang bersifat positif dan bernilai membangun, karena itu merupakan kepentingan bagi banyak orang yang diperjuangakannya bukan berdasarkan kepentingan individu atau kelompok. Jika semua gerakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok itu berdasarkan kepentingan masyarakat pada umum-nya maka terjadinya kesenjangan sosial akan mulai terbendung. Disinilah tugas para intelektual, aktivis, tokoh politik, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam memberikan kontribusi pemikirannya sebagai aktor perubahan. Sebuah perubahan tidak jauh dari para intelektual baik itu yang berada dalam dunia politik, yang menjadi tokoh agama dan bahkan bagi para teman-teman aktivis kampus yang memang memiliki kebebasan mimbar dalam memberikan ide kritiknya demi tegaknya keadilan.
Dalam fenomena sosial yang aktual hari ini, bahwa telah terjadi gejolak sosial yang begitu mengancam Indonesia, terjadi konflik komunal di berbagai daerah, tindakan kekerasan atas nama agama, konflik etnis, terjadinya gerakan separatisme artinya gerakan beberapa daerah yang ingin memisahkan dirinya dari NKRI misalnya gerakan GAM di Aceh dan di Papua, ini merupakan realitas sosial yang harus kita sadari, bahwa Indonesia adalah satu Negara yang gagal dalam memberikan keamanan bagi kehidupan sosial. Belum lagi persoalan narkoba, perampokan yang sampai hari ini juga tetap terjadi, dan yang lebih memalukan lagi adalah praktik korupsi oleh para pejabat-pejabat yang belum banyak diselesaikan oleh para penegak hukum yang dalam hal ini adalah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Permasalahan diatas tentu akan membuat kita semua selalu bertanya, Apa esensi keberadaan pemerintah sebagai pengatur dan pelindung bagi masyarakat? Sejauh mana upaya pemerintah dalam menyelesaikan dan menangani problem bangsa hari ini?. Pertanyaan ini sangat mendasar untuk dijawab oleh pemerintah dalam memberikan dan menjawab keresahan masyarakat yang selalu digantung. Masyarakat menjadi korban politik kejahatan pemerintah dengan sistem yang semakin tidak terkendalikan.
Saya ingin mengatakan, bahwa semua ini merupakan kegagalan dalam menunjukkan sikap bagi kawan-kawan yang ada pada lingkaran politik, yang seharusnya bagi para aktivis politik juga ikut memberikan sumbangsih pemikiran dalam membantu pemerintah untuk menjawab keresahan masyarakat hari ini. Parpol harus dijadikan sebagai lembaga pengawal dalam pengambilan kebijakan pemerintah, parpol harus berani untuk mengatakan tidak pada yang “salah” dan mengatakan iya pada “kebenaran”. Sikap inilah yang jarang kita temukan dalam partai politik, konsistensi parpol sebagai oposisi control terhadap pemerintah itu sangat jauh sekali, justru kecenderungan parpol selalu berdasarkan kepentingan kelompok parpol itu sendiri, sehingga fungsi kontrolnya tidak lagi berjalan. Kehadiran parpol dalam masa kekinian, tidak lagi dengan label kepentingan masyarakat pada umumnya namun bagaimana hari ini mereka mendapatkan kekuasaan dalam melindungi kelompok mereka sendiri. Kepentingan rakyat dijadikan sebagai loncatan komunikasi politik saja dalam menghipnotis sikap rakyat untuk memilih, sehingga tidak heran kemudian jika memang yang menjadi janji dari panggung ke panggung politik itu tidak terealisasikan. Fenomena ini telah terkonstruksi dalam paradigma masyarakat untuk tidak lagi percaya terhadap aksi-aksi aktor politk.
Ketika realitas parpol yang sudah tidak lagi menjanjikan bagi masyarakat, maka disini perlu adanya keterlibatan secara aktif bagi aktivis kampus sebagai kaum intelektual yang menjadi harapan besar bagi masyarakat dalam perannya sebagai agen pengontrol dan pelaku perubahan. Bagi para aktifis merupakan tanggung jawab moral dalam menjadi garda terdepan untuk melakukan suatu perubahan bagi masyarakat, bukan malah sebaliknya. Gagasan revolusioner hanya dimiliki oleh para aktivis sebagai kaum intelektual yang akan melukiskan suatu perubahan dalam masyarakat, sebagaimana Antonio Gramsci (GeorgeRitzer dan Douglas J. Goodman, 2008) mengatakan bahwa gagasan revolusioner hanya bisa dibangkitkan oleh para intelktual kemudian dikembangkan kepada masa atau kepada masyarakat dalam memulai menata perubaha. Kaum intelektualkan menjadi penggerak kunci dalam memulai dan membangun kesadaran bagi masyarakat, bukan menjadi penipu bagi masyarakat. Tugas wajib bagi intelektual adalah selalu memberikan pendidikan pencerahan politik bagi masyarakat dalam menjemput pemilu agar masyarakat dapat menjadi pemilih yang rasional.
Dalam beberapa bulan kedepan, pesta budaya demokrasi Indonesia “Pemilukada Kota Bima” akan membuat masyarakat menjadi stress dan pusing dalam menghadapinya. Masyarakat akan dipusingkan oleh ulah aktor politik yang selalu menginterfensi kebebasan hak masyarakat dalam menentukan pilihannya. Hak masyarakat untuk memilih pemimpin yang baik, jujur, adil dan beramanah kini tidak lagi secara penuh yang datang dari dalam diri masyarakat, namun doktrinasi yang bersifat memaksa dari para oknum pelaku tim sukses atau tim pemenangan calon tersubut telah menentukan pilihan masyarakat. Kesadaran palsu masyarakat yang terbangun disebabkan pengaruh liar oleh para oknum tersebut akan berdampak pada kegagalan sebuah daerah, bangsa dan Negara karena masyarakat akan memilih dengan setengah sadar tanpa melihat bahwa yang dipilihnya itu merupakan pemimpin yang tak berkompeten atau malah tidak bisa dipercaya. Aksi-aksi politik yang tidak berdemokrasi itu sama halnya dengan mencederai domokrasi secara disengaja, dan telah melanggar prinsip demokrasi. Salah satu prinsip demokrasi yang dikatakan oleh Mentri Luar Negri AS, James Baker, dalam pidatonya pada Konferensi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (CSCE) di Moskow pada September 1999 (John L. Esposito & John O. Voll, 1999) adalah “Pemilihan Umum yang Bebas”. Prinsip “Pemilihan Umum yang Bebas” merupakan simbol demokrasi yang harus ditaati oleh parpol dan parpol harus mengedepankan kepentingan masyarakat pada umum-Nya. Parpol tidak seharusnya memaksakan kehendak yang pada akhirnya menempuh cara-cara yang haram dalam melancarkan aksinya untuk merebut kekuasaan.
Dalam pemilu, juga masyarakat memiliki Beberapa sikap politik pada umumnya, Pertama, Emosional Sesaat, masyarakat cenderung cepat tergiur dengan segala janji yang ditawarkan oleh para calon lewat panggung politik yang itu belum tentu kepastianya dijamin, dan pemberian yang bersifat sementara oleh para oknum politik yang berupa barang serta berupa uang “politik uang” tanpa melihat dan menganalisis bagaimana dan seperti apa orangnya. Kedua, kecendrungan politik Kelompok, ketika masyarakat cenderung kepada kelompok maka subjektifitas akan selalu dikedepankan dan rasionalitas selalu diabaikan. Firmanzah (2007) mengatakan bahwa kesamaan paham dan ideologi pada suatu kelompok tersebut akan cenderung mencerminkan aspek non-rasional. Doktrin kelompok ini sangat melemahkan sikap rasionalitas bagi pemilih karena akan melahirkan sikap fanatisme kelompok yang pada akhirnya tertanam kesadaran palsu yang disebabkan oleh struktur kelompok. Ketiga, adanya kepentingan pribadi, banyak orang yang memanfaatkan momen politik dalam membungkus kepentingan pribadi. Momen-momen politik menjadi ajang dalam mengadu kepentingan pribadi bagi setiap individu dan bahkan bagi kelompok. Ini tidak bisa dielakkan dalam kancah perpolitikan bahwa semua itu bisa saja terjadi, dengan sikap kecenderungan manusia yang selalu serakah dan tidak ingin mengalah. Apapun bisa dilakukan meski dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya, persoalannya yang benar akan menjadi nomor dua bahkan menjadi nomor terakhir.
Kondisi seperti ini memang membutuhkan orang-orang yang berani dalam mengawal terjadinya kejahatan politik terutama ulah-ulah para predator politik yang selalu mencari mangsa dalam kancah pemilukada Kota Bima untuk pemilihan Walikota dan Wakil Walikota baru yang akan memimpin Kota Bima lima Tahun kedepan. Bagaimana wajah Kota Bima dalam Lima tahun kedepan, itu semua tergantung kesadaran semua elemen masyarakat baik itu dari kalangan tokoh politik, tokoh masyarakat, pemukah agama, masyarakat biasa dan masyarakat Ilmia dalam menentukan pilihannya. Saya harus mengatakan berulangkali meski dengan berat hati, bahwa ketikan aksi para actor politik tidak lagi menjanjikan, tokoh masyarakat mulai acuh dan masyarakat sudah tidak lagi memiliki kesadaran penuh maka ini adalah tugas bagi teman-teman aktivis kampus sebagai kaum intelktual terutama bagi kawan-kawan yang tergabung dalam organisasi kemahasiswan agara selalu menjadi pengawal dalam berjalannya pemilukada Kota Bima yang tinggal menghitung hari saja.
Para intelektual harus selalu memposisikan dirinya sebagai penetral aktif untuk mengawal perjalanan pemilu. Kaum intelektual tidak semestinya masuk dalam rel politik yang sehingga fungsi kontrolnya tidak lagi ada, idealisme harus selalu menjadi jubah kebanggaan dalam menunjukkan identitas yang sesungguhnya kepada masyarakat. Kepercayaan masyarakat menjadi spirit perjuangan bagi para intelektual, pendorong dan bahkan kepentingan masyarakat umum menjadi moral bagi kaum intelektual. “Kutukan sosial” masyarakat terhadap intelektual artinya ketidakpercayaan masyarakat terhadap kaum intelektual yang selama ini terbangun dalam public harus dihilangkan karena telah menurunkan nilai integritas bagi para intelektual. Intelektual harus mulai muncul untuk segara menyadarkan kepada para aktor politik dan kepada pemerintah yang memiliki banyak dosa-dosa sosial untuk segera sadar sebelum “kutukan sosial” keluar dari mulut masyarakat yang merasa dihianati dan dikecewakan.