Opini

Capres dan Buruknya Kampanye Pemilu di Era Digital

335
×

Capres dan Buruknya Kampanye Pemilu di Era Digital

Sebarkan artikel ini

Oleh: Akhwan Jauhar Nursajjad*

Capres dan Buruknya Kampanye Pemilu di Era Digital - Kabar Harian Bima
Akhwan Jauhar Nursajjad. Foto: Ist

Menurut Morissan (2005:17) Pemilu adalah cara atau sarana untuk mengetahui keinginan rakyat mengenai arah dan kebijakan negara ke depan.

Pfau dan Parrot (1993) mengatakan bahwa kampanye adalah proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran.

Capres dan Buruknya Kampanye Pemilu di Era Digital - Kabar Harian Bima

Di era modernisasi seperti sekarang ini, perkembangan yang terjadi sangatlah pesat. Pemimpin yang akan memimpin kita ke depannya haruslah dia yang bisa memikirkan masa depan terkait digitalisasi, globalisasi, machine learning, Artificial Intelligence (AI), teknologi dan sebagainya tanpa meninggalkan atau mengesampingkan kesejahteraan, Hak asasi manusia dan pendidikan yang ada.

Digitalisasi

Menurut Ritter dan Pedersen (2020), digitalisasi adalah meningkatnya ketersediaan data digital yang dimungkinkan oleh kemajuan dalam menciptakan, mentransfer, menyimpan, dan menganalisis data digital.

Globalisasi

Dilansir dari buku Demokratisasi dan Globalisasi (2022) karya Hesri Mintawati, berikut pengertian globalisasi menurut Anthony Giddens “Globalisasi adalah kondisi di mana banyak orang menyadari bahwa mereka turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang terus berubah tanpa kendali.”

Machine Learning

Menurut Tom M. Mitchell, seorang ilmuwan komputer dan pelopor machine learning, machine learning adalah studi mengenai algoritma komputer yang dapat meningkatkan kinerja program
komputer secara otomatis melalui data sebelumnya.

Artificial Intelligence

Definisi AI menurut Sri Kusumadewi [2003] adalah “Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence merupakan salah satu bagian ilmu komputer yang membuat agar mesin (komputer) dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik yang dilakukan oleh manusia“.

Sebelum era digital, untuk menguasai dan memanipulasi ideologi masyarakat, haruslah turun langsung ke lapangan, berbicara dari rumah ke rumah, membuat kampanye besar-besaran untuk menyampaikan semua kegiatan yang ada dan berpidato sebaik mungkin. Hal ini tentu bisa menjangkau ribuan orang. Namun, di era digital seperti sekarang. Hanya dengan mengklik lalu mengupload, bahkan sampai puluhan juta pasang mata bisa melihatnya.

Ini bisa dibilang gila dan sekaligus menyeramkan, kenapa? Propaganda itu tercipta akibat munculnya ideologi-ideologi baru yang menyebar dari kepala ke kepala, dari 1 orang ke 2 orang, dari 2 orang ke 4 orang dan seterusnya. Dimana itu semua sekarang ini lebih mudah dilakukan secara digital. Masalah utamanya yaitu hoax dan adanya misinformasi.

Ahli komunikasi dari Universitas Indonesia, Profesor Muhammad Alwi Dahlan yang juga merupakan mantan Menteri Penerangan mengungkapkan hoaks adalah manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah. Di dalam berita hoaks terdapat penyelewengan fakta yang membuatnya menjadi menarik perhatian. Sesuai dengan tujuannya, untuk mendapat perhatian.

Ketika seorang Capres hanya menggunakan fakta dan data, tentu dia bisa memenangkan pikiran tapi tidak bisa memenangkan hati. Untuk memenangkan hati, harus bisa memainkan sisi emosionalnya. Memainkan emosi apalagi dengan tingkat pendidikan yang rendah akan menimbulkan sifat yang anarkis akibat adanya tekanan di tiga sisi negatif emosional yaitu: kemarahan, kebencian dan ketakutan.

Coba saja lakukan pencarian di internet, begitu banyak konten yang menjelekan salah satu pihak, dimana lebih banyak negatif dibanding positifnya. Hal itu terjadi karena kebanyakan netizen yang ada memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mereka lebih banyak mencari serta membuat drama dan itu jujur benar-benar bukan hal yang baik. Pemimpin yang kita pilih sekarang ini merupakan calon pemimpin kita di masa depan. Hidup kita bergantung pada keputusan apa yang kita pegang.

Pemilu tahun ini diprediksi akan menaikan sirkulasi peredaran uang sekitar minimal Rp. 100 triliun. Untuk apa,? ya tentu untuk menyebarkan informasi. Kominfo sedang ngos-ngosan memberantas hoaks yang ada. Hoaks dan misinformasi ini sedang marak dan luar biasa banyaknya.

Sisi buruknya, Kita tidak bisa mengontrol itu semua, kita tidak tahu juga mana yang hoax dan mana yang tidak, siapa yang dibayar oleh siapa apabila benar dibayar. Korban paling banyak berasal dari Facebook. Ada sekitar 455 sebaran hoax dari Facebook yang diajukan ke Kominfo untuk di takedown yang berkaitan langsung dengan Pemilu.

Jika ini berlanjut dan terus berlanjut, ini sudah masuk ke ranah pembodohan masyarakat. Perubahan pola pikir dan ideologi masyarakat hingga bisa terpengaruh untuk memilih salah satu pihak melalui informasi yang salah.

Setiap konten yang kita lihat berkaitan dengan pemilu, jangan diambil begitu saja secara mentah, jangan terbawa emosi. Selaraskan antara pikiran dan hati, artinya kedua hal itu harus seimbang. Biasakan bertanya dulu sebelum memilah sebuah informasi, analisa lah secara kritis berdasar fakta dan objektifitas, baru mengikuti kata hati.

Setiap ada informasi yang kurang meyakinkan, pastikan dulu itu fakta atau tidak. Perlu diingat sudah ada ribuan informasi terkait Pemilu ini yang sudah beredar dan itu belum tentu benar. Jangan sampai mudah dimanipulasi, karena sejatinya Pemilu itu harus adil dan bertujuan mempersatukan kita untuk kemajuan Indonesia.

Carilah informasi dari laman resminya masing masing terkait informasi visi misi, kebijakan-kebijakan maupun track record dari masing masing calon. Jangan karena mendengar atau melihat postingan, kita langsung bisa memutuskan bahwa pasangan itu layak dipilih. Terserah mau milih siapa, itu hak masing-masing karena ini demokrasi. Tapi kali ini karena bahayanya luar biasa, karena pemilu kali ini jauh lebih digital dibanding Pemilu-pemilu sebelumnya. Pilihlah presiden yang menyentuh hati kita tapi harus berdasar objektivitas dan fakta.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Bima