Opini

Fenomena K-Pop dan Inspirasi Pengelolaan Sampah

2134
×

Fenomena K-Pop dan Inspirasi Pengelolaan Sampah

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ririn Kurniawati*

Fenomena K-Pop dan Inspirasi Pengelolaan Sampah - Kabar Harian Bima
Ririn Kurniawati. Foto: Bin

K-Pop saat ini tengah merajai dunia hiburan, merambah hampir ke seluruh negara baik itu di wilayah Asia, Afrika bahkan eropa. Drama Korea merupakan salah satu yang ditunggu-tunggu bukan hanya oleh generasi milenial atau Gen Z, namun juga generasi yang “old fashion”. Tentu saja karena cerita yang disuguhkan sangat beragam dan menarik, serta episode yang dihadirkan tidak terlalu panjang dan bertele-tele seperti drama lain.

Terdapat beberapa hal yang menarik yang sebenarnya bisa diambil dari menonton Drama Korea. Sebagai salah satu penikmat Drama Korea yang sering saya perhatikan adalah pengelolaan sampahnya. Dalam beberapa drama sering ditampilkan adegan dimana penghuni rumah sedang membuang sampah mereka. Pada satu apartemen tempat pembuangan sampahnya biasanya berada di basement, dan menariknya lagi terdapat beberapa tempat dengan jenis sampah yang berbeda, sampah organik. Sampah anorganik terdiri dari berbagai macam jenis misalnya botol, plastik, kertas, dan kaleng, masing-masing memiliki tempat pembuangan tersendiri, masyarakat Korea diharuskan untuk memilah sampahnya sejak dari rumah. Ketika sampah hendak dibuang, sampah dibuang menurut jenisnya ketempat tempat yang berbeda. Tempat sampah yang disiapkan pun tidak terlalu besar. Menurut pendapat saya pribadi karena frekuensi pengangkutannya yang lumayan sering, sehingga tidak dibutuhkan tempat yang besar untuk penampungan sampah.

Melihat dalam drama membuat saya tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai bagaimana sebenarnya Korea Selatan mengelola sampahnya.

Secara umum mereka membagi sampahnya menjadi dua bagian, yaitu sampah daur ulang dan sampah yang tidak bisa didaur ulang (organic). Untuk sampah organik manajemen yang diberlakukan lebih ketat, mereka menerapkan konsep Volume Base Waste Fee masyarakat membayar iuran sampah sesuai dengan berat sampah yang mereka hasilkan. Untuk menjalankan regulasi ini pemerintah mewajibkan masyarakat untuk membeli kantung sampah yang disiapkan oleh pemerintah yang terdiri dari berbagai ukuran, hal ini tentu saja memicu masyarakat untuk sesedikit mungkin membuang sampahnya dan mengolahnya sendiri di rumah.

Selain itu, Korea Selatan juga menerapkan system pay as your trash. Tentu saja sistem ini didukung dengan teknologi canggih yaitu alat penimbang sampah yang diaktifkan melalui kartu yang ditempelkan. Pada saat kartu ditempelkan alat akan terbuka, kemudian masyarakat memasukkan sampahnya dan alat tersebut menimbang sampah akan sesuai dengan besaran sampah yang dimasukkan, dan mengeluarkan besaran biaya yang akan dibayar oleh masyarakat. Semakin besar sampah yang dihasilkan semakin besar tarif yang harus dibayarkan oleh masyarakat, biaya ini nantinya digunakan oleh pemerintah untuk mengubah sampah organic menjadi kompos.

Sedangkan untuk sampah daur ulang (anorganik) pemerintah tidak mengenakan tarif tapi menyediakan tempat pembuangan sampah yang memadai, masyarakat diharuskan untuk memilah sendiri sampah yang dibuang apakah itu sampah plastik, kertas, kaleng atau kaca. Sampah-sampah ini selanjutnya akan didaur ulang. Sistem ini menurut data telah berhasil mengurangi sampah organik dan meningkatkan persentase daur ulang sampah dengan prospek bisnis yang tentu saja sangat menjanjikan.

Lantas bagaimana dengan permasalahan pengelolaan sampah di Kota Bima????

Dengan jumlah penduduk sebanyak 157,851 pada tahun 2023 jiwa, produksi sampah domestik Kota Bima bila dihitung dengan produksi minimal perhari 0,75 kg (SNI 3242-2008 untuk kategori Kota Kecil) per orang dapat mencapai 118. 338,25 ton per hari. Dalam sebulan sampah yang menumpuk di TPA bisa mencapai 3.551, 647 ton. Apabila 1 ton setara dengan 2,71 m3, maka sampah Kota Bima dalam 1 bulan bisa mencapai 9.624,96 m3 dan dengan sistem pembuangan sampah open dumping yang ada saat ini, maka dibutuhkan luas area 75 meter x 75 meter dengan tinggi timbunan sampah 1,71 meter.

Bayangkan jika sampah yang ada di Kota Bima hanya dibuang dan tidak diolah sama sekali, berapa luasan area yang dibutuhkan untuk menampung sampah tersebut beberapa tahun kedepan???? Kesadaran masyarakat untuk memilah sampah di Kota masih sangat minim sekali. Kebanyakan masyarakat membuang sampahnya tanpa memilah, hal ini sangat berbahaya karena sampah organik yang membusuk dapat memicu munculnya berbagai macam penyakit.

Hitung-hitungan produksi sampah di Kota Bima menurut saya sudah saatnya kita memikirkan tentang manajemen pengelolaan sampah yang efektif dan berkelanjutan. Contoh kecil yang bermula dari Drama Korea di atas bisa kita terapkan di Kota Bima untuk sampah organik minimal system volume base waste fee yang menghitung iuran sampah berdasarkan berat sampah yang dihasilkan, dan apabila sampah tidak dilakukan pemilahan maka biaya yang dibebankan akan semakin besar.

Pemerintah Kota Bima dapat menyiapkan kantung-kantung sampah dengan berbagai ukuran yang didapatkan dari hasil daur ulang sampah plastik, lalu pada saat pengangkutan sampah petugas mencatat besaran sampah yang dibuang sesuai dengan besaran kantung sampah yang dipakai pada kartu sampah yang nantinya akan ditagih pada awal bulan. Sampah organik yang terkumpul dapat diolah menjadi kompos dan dijual kembali pada masyarakat.

Untuk sampah anorganik Pemerintah Kota Bima cukup menyediakan prasarana dan sarana yang memadai untuk tempat pembuangan sampah. Sistem Bank Sampah yang sudah ada saat ini bisa diteruskan, namun untuk keberlanjutannya Pemerintah Kota Bima dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan daur ulang sampah anorganik, agar sampah-sampah anorganik yang terkumpul bisa segera diangkut dan didaur ulang.

Selain sistem pengelolaan sampahnya hal yang menarik lainnya adalah, kampanye positif yang dilakukan, masyarakat mungkin akan merasa bosan jika mendengar kata “sosialisasi” tapi akan sangat menikmati menonton drama. Kampanye hidup bersih dan mengelola sampah dilakukan melalui pendekatan “entertainment” pesan-pesan pada masyarakat diselipkan dalam adegan-adegan Drama Korea, mereka menggunakan industri hiburan sebagai bahan kampanye gratis untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Ini merupakan hal yang sangat memungkinkan untuk dilakukan di Indonesia, mengingat industri hiburan sedang berkembang pesat dan media sosial sedang marak-maraknya. Para artis dan selegram bisa saja diajak kerjasama atau diwajibkan untuk mengkampanyekan program-program pemerintah sebagai bentuk Corporate Social Responsibilty (CSR), terutama yang menurut saya sangat penting adalah kampanye tentang keberlanjutan pengelolaan lingkungan hidup dalam hal ini pengelolaan sampah.

Tentu saja ini hanyalah sebuah masukan kecil. Implementasinya haruslah dipikirkan secara matang oleh pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah. Semoga pada masa yang akan datang lingkungan hidup kita dapat terus terjaga kebersihannya. Kita “tidak boleh kalah dengan sampah” dan dapat menerapkan pengelolaan sampah yang berkelanjutan mulai dari lingkungan yang paling kecil yaitu lingkungan keluarga kita masing-masing. Bukankah kebersihan adalah Sebagian daripada iman?? Walllahualam Bissawab.

*Penulis ASN Kota Bima dan Alumni Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang