Oleh: Imran, S.PdI, S.H*
Politik uang (Money Politic) adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pemberian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai, calon presiden dan wakil presiden, DPD dan calon anggota legislate.
Menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, jika kasus money politic bisa dibuktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan.
“Tanpa Politik Uang (Money Politic) Maka Kemenangan Hanyalah MIMPI”
Potongan kalimat diatas menjadi lagu wajib yang terdengar ditiap paruga dan di sudut-sudut gang bahkan di warung-warung NGOPI (NGObrol PolItik) saat ini, baik itu antara para caleg, para timses bahkan komunitas yang ada di desa. Kalkulasi politik mulai diperhitungkan bahkan yang lebih luar biasa lagi setiap suara selalu dihitung dengan nilai rupiah, ada yang dihitung dengan Rp 100.000/kepala, bahkan ada yang lebih fantastis lagi diatas itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa disetiap pesta demokrasi melalui Pemilu maupun Pilkada Politik Uang (Money Politik) selalu mengiringinya.
Sanksi Politik Uang (Money Politik)
Pertama, UU Nomor Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 286 (1) Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten dan kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih. (2) Pasangan Calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rekomendasi Bawaslu dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai pasangan calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota oleh KPU. (3) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. (4) Pemberian sanksi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menggugurkan sanksi pidana.
Pada UU Nomor 7 Tahun 2017 diatas jelas menyebutkan ancaman terhadap peserta pemilu apabila melakukan pelanggaran berupa Politik Uang (Money Politic) maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai peserta pemilu tanpa menggugurkan sanksi pidana sebagaimana yang diatur pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Kedua, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 187A (1), Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Politik Uang (Money Politic) adalah perbuatan melawan hukum sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa sanksi hukum bagi pemberi dan penerima adalah di pidana. Pemberi dan Penerima dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Maka menjadi penting untuk diketahui baik para calon maupun pemilih terkait hal tersebut, sehingga penyelenggara pemilu perlu melakukan sosialisasi yang masif dengan mengelompokkan antara lain
Pemilih Pemula: Pemilih Pemula adalah pemilih yang mencapai umur 17 tahun pada saat pemilu berlangsung, pada usia ini rata-rata pemilih berkisar kelas 3 SMA maka pendekatan terhadap pemilih ini bisa dilakukan di sekolah-sekolah untuk mensosialisasikan berkaitan dengan PEMILU dan saksi atas pelanggaran Politik Uang (Money Politik) sebagaimana yang dimaksud. Pemilih Rasional, adalah kelompok pemilih yang punya latar belakang pendidikan di perguruan tinggi, kelompok ini bisa mendapat informasi melalui media baik media elektronik, cetak maupun media social untuk sosialisasi pada kelompok ini menjadi sangat mudah kecenderungan memilih bagi kelompok ini adalah melihat visi, misi dan program. Pemilih Tradisional, adalah kelompok pemilih masyarakat awam, kelompok ini adalah kelompok yang paling rawan menjadi sasaran Politik Uang (Money Politik) untuk itu peran penyelenggara pemilu perlu mengintensifkan dan melibatkan struktur pemerintahan misalnya Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT bahkan kelompok-kelompok tani, ternak dll.
Implikasi Politik Uang (Money Politik)
Jika dalam hitungan matematis misalnya calon anggota DPRD di daerah melakukan Politik uang dengan perkiraan perolehan suara kemenangan bagi calon tersebut adalah 1.500 suara dengan perkiraan uang yang di bagi sebesar Rp. 150.000/suara maka total uang yang dihabiskan adalah sebesar Rp. 225.000.000 nilai yang cukup fantastis belum lagi biaya kos politik yang dihabiskan mulai dari proses sampai hasil akhir dalam pemilihan umum, dalam hal ini ada beberapa model politik uang misalnya transaksi antara politisi dengan pemilik modal dengan iming-iming politik tertentu saat terpilih, kedua transaksi antara politisi dengan penyelenggara pemilu ini bisa saja terjadi mulai dari tingkat terendah di KPPS bahkan sampai ditingkat teratas di KPU mulai dari merubah hasil perolehan suara di internal partai bahkan antar partai politik, ketiga antara politisi dengan pemilih transaksi ini dilakukan agar politisi dipilih. Apabila hal ini terjadi sebagaimana yang digambarkan diatas maka akan berpengaruh pada kualitas penyelenggara dan politisi yang terpilih maka kedepan pemerintahan yang bersih dan berkualitas hanya akan menjadi harapan saja. Semoga kita dijauhkan dari peristiwa ini dan kualitas pemilu tetap terjaga.
Memutus Mata Rantai Politik Uang (Money Politik)
Praktek politik uang (Money Politic) tidak bisa dibiarkan. Kita harus sepakat menjadikannya sebagai musuh bersama-sama. Untuk itu ada beberapa upaya untuk memutus mata rantai politik uang, pertama, Pengawasan yang kuat. Pengawasan disini tidak saja dilakukan oleh penyelanggara pemilu misalnya oleh Bawaslu maupun jajarannya kebawah seperti Panwaslu ditingkat kecamatan, PPL ditingkat Desa dan Pengawas TPS tapi juga dilakukan oleh para saksi partai peserta pemilu pada lingkup TPS saat terjadi pemungutan dan perhitungan suara di TPS. Disamping itu juga pengawasan bisa dilakukan oleh pemilih, apabila menemukan adanya upaya Politik Uang (Money Politic) yang dilakukan oleh peserta pemilu baik oleh partai politik, calon perseorangan maupun calon anggota legislatif maka boleh menegur, mendokumentasikan prosesnya bahkan melaporkan kepada pihak-pihak yang terkait.
Kedua, Edukasi. Edukasi atau Pendidikan politik merupakan proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemahaman masyarakat hingga saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa sistem politik itu bukan urusan mereka melainkan urusan pemerintah, sehingga masyarakat masih ada yang dibodoh-bodohi atau diberikan janji–janji manis. Dalam realitanya atau penerapannya tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan ketika sudah berhasil duduk. Sehingga dalam pemikiran masyarakat awam terkadang kami hanya akan memilih kepada mereka yang memberikan uang begitu juga peserta pemilu mengikuti irama berpikir ini bahwa dengan melakukan politik uang (money politic) mereka akan dipilih. Untuk itu menjadi tugas bersama baik itu penyelenggara pemilu maupun komunitas lainnya untuk memberikan pendidikan politik baik kepada peserta pemilu terlebih kepada masyarakat sehingga lahir kesadaran politik dan partisipasi politik yang menghasilkan pilihan politik yang berkualitas sesuai dengan visi misi dan program sehingga pemerintahan yang baik dan bersih dapat segera diwujudkan.
Ketiga, Kampanye Anti Politik Uang. Kampanye Anti Politik uang bisa dilakukan melalui komunitas-komunitas bahkan melalui mimbar-mimbar dakwah bahwa disamping dalam sudut pandang hukum merupakan tindakan melawan hukum dan dipidana sedangkan dalam sudut pandang Islam bahwa Politik Uang (Money Politic) atau suap menyuap adalah tindakan yang dilaknat oleh Rasulullah SAW sebagaimana sabdanya
Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-‘Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi
Semua perbuatan yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya masuk dalam kategori dosa besar, sebagaimana juga telah disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin:
“Setiap dosa yang hukumannya adalah mendapatkan laknat, dosa tersebut tergolong dalam dosa besar.” (Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Madani, hlm. 57)
Semoga kita semua tidak tergolong sebagai orang yang mendapatkan laknah Allah SWT dan rasul Muhammad SAW.
Akhirnya Mari Bersama Lawan Politik Uang (Money Politic) Ciptakan PEMILU yang bersih.
*Penulis adalah Sekretaris Umum MDMC Bima, dan Ketua Forum Komunikasi Alumni IMM Bima