Editorial, Kahaba.- Pendidikan sebagai entitas penting pilar kecerdasan anak bangsa sepatutnya menjadi skala prioritas dalam kebijakan yang dibangun sebuah negara. Sistim pendidikan Indonesia yang masih mencari bentuk idealnya kerap kali terselimuti skandal maupun kasus yang mencengangkan. Masalah anggaran, stekholder, fasilitas bahkan potret warga belajar adalah sederet dinamika persoalan yang muncul ketika membahas tentang persoalan pendidikan negeri ini.
Pasca reformasi ‘98 dan amandemen konstitusi negara kita, keseriusan penataan sistem pendidikan sudah diperhatikan. Adanya pengalokasian 20% anggaran dari APBN yang khusus diperuntukkan bagi sektor pendidikan semestinya mampu merubah wajah pendidikan secara signifikan dan menghempas segala persoalan yang ada. Namun, kondisi saat ini tidak seperti itu adanya. Pendidikan gratis masih menjadi lips service pemangku kekuasaan dalam mengubar janji politik ke masyarakat.
Pendidikan gratis masih menjadi mimpi bangsa ini. Tanpa menafikkan adanya sederet bantuan dan keseriusan semua komponen, tapi dalam pelaksanaannya pun masih saja menempel bintik-bintik kasus yang terus menodai sektor pendidikan kita.
Bukan Indonesia namanya, jika pendidikan bukan menjadi barang komersial. Pertumbuhan lembaga kependidikan semakin menjamur saja. Namun, pertumbahan lembaga pendidikan itu, jika dianalisa dari orientasi kehadirannya cenderung mencari keuntungan dibandingkan sebagai alat sosial dalam menjawab persoalan pendidikan. Di Bima, lembaga pendidikan tinggi ramai didirikan. Kapitalisme pendidikan dan alatn mencari laba oleh pemilik yayasan atau pengelola terlihat jelas adanya, ketika ukuran biaya pendidikan semakin mahal saja dan kualitas pendidikan masih dipandang sebelah mata. Bahkan tanpa legalitas pun lembaga pendidikan tinggi di bangun di Bima, pengelola berani menipu mahasiswa dengan menarik biaya yang kemudian tak mampu mewisudakannya dan berujung menjadi kasus hukum.
Ujian Nasioana untuk siswa SD hingga SMA tahun 2012, ada motto baru yang berkembang. Asal lulus, pendidikan dianggap sukses dan mulus. Ukuran itu menjadi mainset yang akhirnya melanggengkan langkah-langkah inkonstitusional di dalamnya. Membagi kunci jawaban saat Ujian Nasional bukan lagi barang tabu yang kita dengarkan. Mencari kelulusan dengan porsentase terbesar menjadi prioritas walau ditempuh dengan cara yang tidak halal.
Siswa menikah di bangku sekolah, bukan lagi hal yang aneh bagi kita. Penetrasi modernisasi yang telah menyerang generasi bangsa hingga melupakan budaya ketimuran yang dekat dengan nilai-nilai moralitas dan agama bukan isu yang menarik untuk dibahas stekholder bangsa ini. Tragis, generasi tergadai cita-citan karena pengaruh budaya liberal dan menanggalkan budaya bangsa yang dilahirkan dengan darah dan air mata.
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh setiap tanggal 2 Mei, semestinya mampu untuk kembali menggugah wajah pendidikan kita yang harus tetap bersandar pada budaya bangsa yang ada. Bukan membagikan jawaban pada peserta ujian, karena jabatan Kepala Dinas pertaruhkan. Bukan berdiam diri melihat fenomena siswa nikah dini saat dibangku sekolah, dan bukan pula terdiam mendengar kepala sekolah menyunat anggaran miskin siswanya.
Menjadi bangsa yang besar adalah bangsa yang seribu persen serius terhadap pendidikannya. Melanggengkan dan membiarkan pencideraan terhadap wajah pendidikan, sama halnya membangun penjajahan baru di negeri ini. Kita semestinya melihat pendidikan sebagai investasi bangsa dalam mengeluarkan negeri ini dari krisis multi dimensi yang menghantamnya saat ini. Bukan merengek meminta pinjaman pada bangsa asing lalu elit berkonspirasi dengan aparat mengkorupsi dana pinjaman dan menghisap pajak rakyat demi selir, kesenangan semu, dan sifat kebinatangan lainnya.
Bima sebagai miniature Indonesia sudah memulai dengan membangun delapan unit Sekolah Dasar bertaraf Internasional sebagi icon keseriusannya terhadap sektor pendidikan. Milyaran anggaran terhisap demi prestise itu dan Menteri Pendidikan pun meresmikannya secara langsung. Tapi, gedung megah namun tak berkualitas itu sama halnya pemborosan. Prestasi bukan di ukur dari gedung. Tapi ia bersumber dari pikiran dan hati yang bersih. Sampai dimanakah perjalanan dan keseriusan membangun kualitas pendidikan negeri ini ? Hal ini menjadi tanda tanya besar tanpa solusi ketika sektor pendidikan hanya menjadi kepentingan prestise elit dalam kacamata kekuasaan politik semata.
Roh pendidikan ada dalam sistim yang berdikari. Mampu membangun kualitas diri, demi cita-cita suci bangsa ini. Mari tuntaskan utang kemerdekaan bangsa, dengan memberi harapaan pendidikan yang berarti kepada generasi negeri ini. ***