Oleh: Asrul Raman
Ini yang saya tahu tentang Desa Oi Bura dan Tambora, Desa Oi bura itu merupakan desa yang posisinya paling tinggi di Kecamatan Tambora dan di huni oleh beberapa etnis, suku bangsa dan agama. Etnis Mbojo yang paling banyak karena memang itu wilayah Bima, dan etnis Bali juga tidak kalah banyaknya dan di Tambora sendiri ada juga yang beragama Konghucu (data Disdukcapil).
Oi Bura dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang umurnya relatif muda namanya Wahyudin dan beliau ini melahirkan beberapa kesepakatan-kesepakatan sosial. Antara lain saling menghargai dalam pergaulan, khusus bertamu harus menjamu dengan air mineral kemasan apabila umat muslim mengunjungi umat hindu atau kristen, serta mengedepankan gotong royong pada hari yang di sepakati. Selain itu, dalam pengelolaan kebun kopi telah di bagi berdasarkan Kepala Keluarga dengan prosenstase yang sudah disepakati.
Kehidupan di Oi Bura sangat rukun, tidak ada gesekan sedikitpun. Setahun yang lalu, ada Tim dari Lakpesdam NU Bima yang membangun Inklusi Sosial di Desa Oi bura, Tim Lakpesdam mendapati banyaknya keluhan yang disampaikan warga, diantaranya kepemilikan dokumen kependudukan (KTP, KK, Akta Kelahiran, Buku Nikah).
Cukup banyak yang belum memilikinya, ini akibat data pindah kependudukan mereka tidak tercatat. Selama ini mereka dikucilkan oleh negara, namun sekarang hampir sudah memiliki semua (katanya berkat Lakpesdam NU). Lakpesdam NU telah mendampingi Desa Oi bura masuk tahun kedua, dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam membangun desa, menguatkan kapasitas pemuda desa (kader damai) yang berjumlah 20 orang dan mereka merupakan champions di desa yang membantu Kepala Desa.
Kepala Desa nya sudah mengerti makna Demokrasi Deliberatifnya Jurgen Habermas, sehingga Ruang Warga dibuka seluas-luasnya dan warga menyampaikan opini untuk pembangunan yang lebih baik. Ke-Bhineka-an di Desa Oi bura pun patut di contoh oleh desa lainnya, baru-baru ini mereka saling berbagi bibit jeruk, pepaya, dll. Dan sekarang mereka menyemai bersama bibit cengkeh. Itu hal luar biasa yang tumbuh dari masyarakat pedesaan seperti di Oi Bura, imej konflik akibat Pembangunan Pure terkubur seiring adanya kebersamaan yang dibangun.
Ada banyak Potensi yang ada di Desa Oi Bura namun sangat sedikit yang sudah dikembangkan, karena keterbatasan akses atas pasar. Yang dilakukan pemerintah daerah dari dulu mencoba menawarkan Tambora pada Investor, sehingga muncul lah perusahaan-perusahaan Pengelola Kayu yang membuat Tambora hampir Gundul.
Sekarang potensi yang berpeluang di garap adalah Kopi, Madu Alam, Wisata Pendakian, Snorkeling atau Skin Diving, pertanian buah-buahan dan sayur-sayuran. Butuh komitmen bersama pemerintah dan masyarakat untuk membangun itu semua, civil society pun harus mulai diajak terlibat, tentu masyarakat sipil yang mempraktekan nilai-nilai demokratis seperti legality, publicity, privacy dan plurality.
Menyusun konsep bersama membangun Kawasan Tambora dari ide pemerintah daerah itu juga sangat penting, selama ini konsep kawasan itu datang dari pusat yang memimpikan adanya Kawasan Terpadu Mandiri (KTM), namun itu semua jauh dari harapan bersama. Pemerintah daerah harus menjadi investornya, dengan membangun sistem ekonomi kawasan, bukan menjualnya ke pasar bebas serta menandatangani MoU/MoA dengan perusahaan yang berinvestasi dan pemerintah mengambil keuntungan atas pajak perusahaan.
Ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam pengembangan kawasan Tambora, yaitu: 1) Sumber Daya Aparatur, seyogyanya birokrat yang di tempatkan di Tambora itu yang Visioner, memiliki mimpi dengan melihat potensi yang ada; 2) Sumber Daya Alam, Potensi yang begitu banyak harus diberikan hak pengelolaan kepada pemerintah desa dan desa wajib mendirikan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang di dampingi oleh dinas Koperasi.
Kemudian ke 3), Komunitas Sukarela, mereka harus di perhatikan dan di kuatkan kapasitasnya sehingga mampu melawan praktek kolonisasi; 4) Komunitas Budaya, sangat perlu membangun identitas budaya yang ada di kawasan Tambora, setidaknya mengakulturasi budaya yang ada yaitu budaya bali sebagai pendatang dengan budaya lokal; 5) Lembaga Pranata Sosial, perlunya membangun lembaga pranata sosial seperti lembaga pendidikan, kehutanan/perkebunan, pertanian, agama, dll.
Saatnya pemerintah memiliki Road Map pembangunan Kawasan Tambora yang lahir dari rumusan Daerah, membentuk Forum Satuan Kerja Perangkat Dinas (F-SKPD) khusus mengawal pembangunan di Tambora, menjali kerjasama dengan semua Perguruan Tinggi di Bima agar punya andil membangun kawasan Tambora, bayangkan apabila semua perguruan tinggi mengarahkan 30% dari peserta KKN, PPL atau Praktek ke Tambora, maka hanya dengan beberapa Tahun Tambora akan kelihatan Pembangunan dan Kesejehteraanya. Bupati baru harus mengambil momen itu, sinergisitas semua sektor jadi kunci perubahan dan sebisanya bertangan besi dengan para Bossisme yang telah menguasai sebagian besar lahan di kawasan Tambora.
*Penulis juga Direktur Lakpesdam NU Bima