Oleh: Didid Haryadi*
Pandemik Covid-19 telah memberikan dampak yang serius bagi dimensi sosial, ekonomi, politik, dan sektor kehidupan sosial lainnya. Seturut dengan hal tersebut, rutinitas sosial menjadi sangat terbatas, mengalami perlambatan, dan penuh dengan ketidakpastian.
Salah satu upaya untuk mencegah menyebarnya virus Covid-19, organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization) memberikan himbauan untuk menerapkan pola ‘social distancing’ yang kemudian istilahnya diubah menjadi ‘physical distancing’. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah membatasi ruang dan interaksi sosial antar individu khusunya yang sering dilakukan di ruang-ruang publik, seperti stasiun kereta, pusat perbelanjaan, bandara, sekolah, perkantoran, dan sebagainya.
Namun, selama masa diberlakukannya pembatasan-pembatasan tersebut, ada beberapa fakta sosial yang menarik dan perlu dipertimbangkan di masa mendatang. Pertama, menyempitnya ruang publik. Kedua, pola konstruksi sosial yang terbentuk pada masa pandemik.
Ruang Publik
Secara umum, kita sering memanifestasikan konsep ruang publik dalam kehidupan sehari-hari dengan menyebut pasar, mal, kantor, sekolah, stasiun, dan pusat keramaian lainnya. Ruang publik seringkali dimaknai sebagai lokasi berkumpul dan bertemunya individu ataupun kerumunan dengan tujuan tertentu. Merujuk Carr dkk (1992), kategorisasi ruang publik biasanya dimaknai berdasarkkan karakter kegiatannya, lokasi, dan proses pembentukannya. Beberapa contohnya adalah jalan, taman bermain, ruang terbuka komunitas, mal, dan pasar.
Terdapat dua hal yang patut diperhatikan dalam memaknai ruang publik (Carr dalam Carmona) yang bertumpu para proses interasi sosial, yakni harus adanya keterlibatan pasif (passive engagement) yang dapat diketahui dengan karakteristik publik berperan sebagai pengamat atau penikmat ruang publik.. Dan keterlibatan aktif (active engagement), pemanfaatan ruang publik dengan berpartisipasi dengan pola komunikasi secara langsung dengan orang lain (mengobrol, berdiskusi, rapat).
Sementara itu, salah satu perspektif yang jamak dibicarakan tentang ruang publik adalah konsep yang digagas Jurgen Habermas yang melihat relasi antara negara, publik, dan pasar. Ruang publik dalam benak Habermas merupakan cerminan kualitas kedewasaan masyarakat dalam alam demokrasi.
Menurut Habermas, demokrasi hanya akan terjadi dalam masyarakat dewasa (Mundigkeit), yang mana ideologi-ideologi ditanggalkan dalam praktik demokrasi. Ruang publik yang sehat menjadi infrastruktur utama dalam masyarakat.
Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan himbauan ‘physical distancing’ merupakan sebuah upaya untuk memaknai proses demokrasi yang terjadi dalam konteks Indonesia. Publik tentunya selalu mendukung langkah-langkah konkret dan preventif yang diinisiasi oleh pemerintah agar pandemik Covid-19 segera diatasi dengan baik dan maksimal.
Konstruksi Sosial
Interaksi sosial adalah proses komunikasi yang terjadi dalam rutinitas dengan menggunakan instrument bahasa verbal dan non-verbal untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Secara sosiologis, konsep ini dikenal dengan istilah ‘social construction of reality’, prose untuk mencerminkan pemaknaan setiap individu dan publik berdasarkan realitas dan pengalaman yang dirasakan.
Mari kita perhatikan salah satu konstruksi sosial atas realitas pada masa pandemik Covid-19. Kebijakan PSBB dibarengi dengan fakta sosial yang lain yakni himbauan untuk melaksanakan kegiatan bekerja dari rumah; work from home (WFH). Setiap individu harus bekerja, bersekolah, dan melaksanakan bisnis mereka dari rumah dengan medium internet atau perangkat penunjang lainnya. Rumah, dapat dimaknai sebagi ruang (publik) yang tercipta dan dibatasi oleh zona dengan tipe-tipe komunikasi atau interaksi sosial yang spesifik.
Lebih lanjut, fenomena WFH adalah gambaran penyebaran atau konvergensi ruang (publik) yang perlahan mengalami perubahan fungsi. Sehingga, tidak mengherankan jika rumah tidak sekedar sebagai bangunan untuk tempat tinggal, namun telah menjelma sebagai ‘kantor’, ‘sekolah’, atau ‘perusahaan’ selama masa pandemik Covid-19.
Konvergensi ruang ini berdampak pada aktivitas yang sebelumnya dilakukan secara terpisah, kini menjadi serentak dan seragam. Tentu saja, lokasi untuk beraktivitas yang dimaksud adalah rumah.
Sehingga, konsekuensi sosial dari situasi tersebut adalah munculnya keterasingan sosial pada setiap individu yang ditandai dengan semakin menyempitnya ruang interaksi sosial konvensional yang bertransformasi menjadi ruang interaksi virtual. Dan situasi ini menjadi beban bagi individu pada ruang aktivitasnya sehari-hari. Artinya, perlu ongkos sosial dan ekonomi untuk mengakses ruang virtual.
Kedua situasi di atas, baik kebijakan PSBB maupun WFH merupakan dampak dari situasi pandemik Covid-19. Dalam sebuah eksperimen sosial yang dilakukan di Spanish Harlem, Seorang pria bernama Piri Thomas memenangkan aksi perkelahian sebagai syarat untuk dapat diterima dalam kelompok gangster. Sikap yang dilakukan oleh Thomas kemudian dikenal dengan teorema Thomas (W.I. Thomas 1931)—sebuah situasi yang didefinisikan sebagai nyata adalah rial (nyata) dalam setiap konsekuensinya.
Dalam konteks pandemik Covid-19, konsep interaksi sosial dengan teorema Thomas dapat dimaknai bahwa realitas (kebijakan PSBB, WFH) pada awalnya “lunak” pada saat dibentuk dan disosialisasikan. Ia kemudian berubah menjadi “keras” dalam efeknya dalam rutinitas masyarakat. Lihat saja, masih ada yang melakukan aktivitas mudik di tengah masa pandemik ini.
Sehingga, kebijakan PSBB, WFH, larangan mudik dan pulang kampung harus dimaknai secara utuh sebagai satu kesatuan yang layak dipraktikkan secara kolektif oleh warga Indonesia.
*Staf Pengajar Sosiologi di Universitas Nasional Jakarta