Opini

Pendidikan Politik dan Jebakan Money Politic Menjelang Pilkada

478
×

Pendidikan Politik dan Jebakan Money Politic Menjelang Pilkada

Sebarkan artikel ini

Oleh : Muhadi *

Opini, Kahaba.- Politk uang merupakan isu paling populer sepanjang pilkda di Indonesia, betapa tidak money politic adalah satu diantara tiga penyakit yang menjalar dalam kancah perpolitikan tanah air kita. Dua diantaranya yaitu politik kekerasan dan politik yang tidak mencerdaskan. Demokrasi yang ideal telah direduksi menjadi transaksi jual-beli tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etika kemasyarakatan, tidak ada bedanya dengan transaksi jual beli di pasar tradisional. Kehadiran money politic telah menghancurkan sistem demokrasi dan menciptakan sistem politik semakin mahal. Pertarungan di pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah arenanya, salah satu mesin politik yang paling ampun yaitu satu kata bernama uang, meskipun secara natural kebutuhan akan uang itu sendiri diperlukan dalam politik. Hal ini sudah sudah menjadi rahasia umum bahwa money politic menjadi manuver utama.

Ilustrasi. Gambar: Lampungonline.com
Ilustrasi. Gambar: Lampungonline.com

Berbagai kajian intelektual dan teoritis, politik uang semacam ini merupakan bagian dari mata rantai lingkaran setan dalam bentuk korupsi di Indonesia dan tidak kalah berkembang dan dinamis trend didaerah. Mirisnya jikalau di Indonesia para calon yang harus membayar ke konstituen, maka di negara maju seperti di Selandia Baru dll sebaliknya masyarakat harus mendukung para calon dengan sumber daya yang dimiliki terutama ide dan pengetahuan tanpa mengutamakan uang. Inilah dampak dari politik biaya tinggi itu, dengan politik uang sebagai mata rantainya. Frame seperti itu adalah sangat naïf jika dalil yang digunakan politik uang dikatakan sebagai sedekah.

Pemilihan Kepala Daerah Semakin Mahal

Politik uang dalam pengertian jual beli suara (vote buying) di Indonesia, memang bukan lagi masalah, bahwa politik uang sudah menjadi trend sosial yang meningkat, seiring dengan kebutuhan masyarakat akan nilai-nilai materi. Kebutuhan calon akan operasinalisasi kekuasaan bersumber dari kekuatan finacial. Di negara yang dianggap sebagai induk demokrasi yaitu Amerika Serikat, dalam pemilu baru lalu, untuk biaya kampanye, Obama dikabarkan menghabiskan paling sedikit 800 juta USD (sekitar Rp 7,2 Triliun). Di Indonesia pada saat pemilihan Pilpres 2009, Prabowo dikabarkan menggelontorkan uang kampanye sedikitnya 800 Miliyar. Disektor pemilihan legislatif, beberapa hasil survey menunjukan, untuk pemilihan legislative paling sedikit caleg mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta hingga Rp 6 Milliar.

Biaya pilkada dari tahun ketahun semakin meningkat hingga mencapai 3,5 persen dibandingkan tahun 2004. Pertanyaannya, darimana dana sebesar itu diperoleh? Di Indonesia sendiri hampir 60 % diperoleh dari pengusaha. kondisi ini memberikan implikasi yang serius diantaranya, pertama, kebijakan pemerintahan yang terpilih  kedepan tentunnya harus mengutamakan kepentingan pengusaha yang mendukung. Kedua, politik balik modal menjadi siklus tersendiri yang secara alami dilakukan oleh para elit pemerintah. Kondisi ini dapat menciptakan ketidakseimbangan (disequilibrium) pembangunan dan pertumbuhan di masyarakat, tentunya sangat berbahaya. Akhirnya akan menimbulkan pergeseran budaya pemerintahan yang tidak tepat sasaran dan efektif.

Syahwat Kekuasaan Menuju Korupsi

Politik uang semacam ini tentunya akan mengancam demokrasi. Harapan mengubah demokrasi prosedural menjadi demokrasi yang subtansial menjadi mimpi. Demokrasi mengalami disfungsi asas dikarenakan money poltilic. Sangat berbahaya, berdasarkan data yang diperoleh, kepala daerah dan wakil kepala yang bermasalah dengan hukum baik menjadi tersangka, terdakwa, divonis, terpidana atau saksi sejak tahun 2004 hingga awal 2011 yaitu sebanyak 16 gubernur, 4 Wakil gubernur, 93 bupati/walikota, dan sebanyak 44 wakil bupati/walikota (Sumber : Kementrian Dalam Negeri, 2011).

Pada pemilihan anggota dewan atau legislatif beberapa tahun yang lalu, sudah menjadi rahasia umum jika setiap Caleg harus mengeluarkan uang dengan jumlah yang banyak untuk mendapatkan kursi panas di DPRD. Siapa yang berduit maka ia akan jadi pemenang tanpa melihat kualifikasi dan pengalaman yang dimiliki. Kondisi ini justru membuat komersialisasi di bidang politik tidak mau kalah dengan yang lain. Setelah anggota dewan yang terpilih tadi duduk, giliran mereka menyedot uang rakyatnya. Banyak siklus baru yang diciptakan oleh kaum elit.

Analogi Spiritualitas Kaum Urban

Politik uang ini memerlukan uang yang besar, maka sumber dana terkadang berasal dari sumber yang tidak jelas. Maka bukan hanya di pusat, didaerahpun digandrongi oleh pelaku bisnis dan elit pemodal. Para pejabat itu tentunya akan membalas ketika sudah menduduki kursi nomor satu itu. Umumya prilaku ini berlaku pada kegiatan tender proyek dan pembangunan. Posisi lain juga yaitu dengan memberikan lisensi atau regulasi buat mereka.

Lantas bagaimana menyikapi politik uang ini dengan proposional, mari kita lihat dalam perpektif agama. Meskipun sejauh ini MUI pusat masih juga mengeluarkan fatwa tentang politik uang akan tetapi, jika dikaitkan dengan perpektif lain, model seperti ini dinamakan suap (risywah). Terminologi suap didalam agama sudah sangat jelas dicap sebagai tindakan yang terlarang. Jabatan dijadikan pasar jual beli, suatu komoditi politik yang pada akhirnya membentuk orang-orang yang haus akan uang. Dapat diprediksi ketika menjabat, mereka-mereka ini akan menjadi lintah darat. Kekuasaan yang tadinya sesuatu yang luhur menjadi buruk dimata mereka.

Pendidikan politik suatu upaya mengarahkan masyarakat kedalam reformasi dan pemberdayaan pemahaman akan sistem politik yang baik dan berbudi luhur, memperjuangkan kesejateraan, taat dan patuh terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Partisipasi membangun iklim budaya pemerintah dan masyarakat yang lebih baik dengan penanaman nilai yang benar menjadi kunci utama pendidkan politik.***

* Penulis adalah Mahasiswa Penerima Beasiswa Bakrie Graduate Fellowship Universitas Airlangga