Redaksi, Kahaba.- Rencana kenaikan BBM di Indonesia beberapa waktu yang lalu. Menarik perhatian mahasiswa dan sejumlah LSM sibuk melakukan pressure terhadap pemerintah. Di Bima, penolakan kenaikan BBM pun tak kalah serunya. Aksi pemblokiran jalan negara, pendudukan Bandara Salahuddin, sampai ada oknum mahasiswa yang melempar mobil dinas Wakil Walikota, H. A. Rahman Abidin, dengan tanah di bilangan pesisir pantai Lewata. Lemparan yang diduga oleh oknum mahasiswa yang berasal dari organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bima, berbuntut pada pengrusakan inventaris sekretariat HMI oleh sejumlah preman yang diduga simpatisan Wakil Walikota di kawasan kelurahan Sadia.

Mahasiswa, sebagai agen social control tak semestinya melakukan perbuatan yang tak mencerminkan nilai intelektual yang disandangnya. Dan preman pun dinilai keterlaluan dengan membakar sejumlah inventaris HMI bahkan melebar hinggga isu pembakaran Al-qur’an dan bendera merah putih
Kisruh HMI bergelinding bagai bola ‘panas’. Aksi demi aksi pun dilakukan HMI terhadap Pemerintah dan pihak kepolisian. Keadaan semakin runyam dan menarik arus perhatian publik, ketika aksi-aksi HMI bukannya tersambut indah oleh Pemerintah Kota, malah di tandingi pula dengan demonstrasi. Beberapa waktu yang lalu, demontrasi yang digelar Front Rakyat Mande Menggugat (FRMM) pun ‘meledak’ dan menuntut Wakil Walikota untuk melaporkan HMI ke kepolisian, karena HMI dinilai sebagai organisasi penyebar fitnah.
Walikota Bima, H. Qurais H. Abidin, dengan gaya politiknya pun senada dengan FRMM, menuding HMI menyebar fitnah karena mengkampanyekan isu pembakaran Al-qur’an dan bendera yang berdasarkan hasil olah TKP kepolisian–tak ada bukti yang bisa menguatkan dugaan tersebut. Pernyataan Walikota pun, diamini Kapolres Bima Kota, AKBP. Kumbul HS, S.Ik.
Tentu tak mudah bersikap dingin terhadap lemparan pernyataan Walikota dan FRMM. HMI lewat Pengurus Besarnya pun hadir di Bima, dan menjawab tudingan tersebut. Dengan alat bukti video, ada 15 eksemplar Al-Qur’an dan selembar bendera yang terbakar, dan menuntut pihak kepolisian agar tidak bermain mata dengan Petinggi yang ada di Pemerintah Kota, yang ditudingnya sebagai otak intelektual dibalik pembakaran inventaris mereka. Polisi semestinya credible dan mengungkap semua tersangka dilapangan dan otak dibalik tindakan bar-bar itu.
Fenomena HMI mungkin saja dimanfaatkan sederet kepentingan politik yang ada di Kota Bima. Suksesi Pemilukada setahun mendatang tentu penuh dengan intrik dan prilaku politik yang menguntungkan pihak tertentu. Perasaan itu pun melekat disebahagian kalangan. Namun, tak mesti harus diamini dan menggeser substasi perlakuan preman terhadap HMI. DPRD Kota Bima pun hanya mampu menunggu lemparan bola tanggungjawab selanjutnya, kemanakah lembaga yang satu ini akan menentukan sikapnya? setelah menerima audensi dari FRMM (Kamis, 19 April 2012) yang menuntut para wakilnya ini untuk menjadi problem solver kasus HMI!!!
Tentu, HMI bukanlah organisasi kemarin sore, jasa dan perjuangan HMI pun tak lepas dari indahnya udara kemerdekaan yang kita rasakan saat ini. Kontribusi air mata dan darah HMI telah membentuk NKRI. Namun, HMI kini dibenturkan dengan masyarakat. Pemerintah seolah tutup mata dan berada dibalik keadaan konflik ini.
Ada apa dengan FRMM, Pemkot Bima, Kepolisian dan HMI? Pertanyaan ini tentu akan kita temukan jawaban, bila proses hukum berjalan sebagai Panglima, tak ada intervensi didalamnya. Dan pemerintah harus paham eksistensinya sebagai organisasi induk yang mengayomi setiap kepentingan kelompok dan masyarakatnya. Bima sudah terlalu panas dengan dinamika politik belakangan ini. Semestinya hal-hal itu, menjadi pelajaran Pemerintah untuk bisa menyelesaikan segala bentuk kisruh dengan keteladanan dan pendekatan budaya ketimuran kita yang menyandang motto Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).***