Opini

Kenapa Masyarakat Bima Agresif

548
×

Kenapa Masyarakat Bima Agresif

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Ridwan M Said, S.H., M.H*

Kenapa Masyarakat Bima Agresif - Kabar Harian Bima
Doktor Ridwan

Di hari suci Idul Adha, masyarakat Bima disuguhkan sebuah fenomena yang mencabik hati nurani dan rasa kemanusiaan dinodai oleh perilaku yang tidak terpuji, yaitu terjadi dua peristiwa pembunuhan di dua lokasi yang berbeda di Kecamatan Wera dan Sape Bima, dengan sebab yang sederhana dan sepele. Idul adha/qurban yang seharusnya menjadi hari dimana menjadi momen untuk merayakan kemenangan, bermaaf-maafan, hari dimana kisah dan sejarah monumental umat manusia yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim di uji oleh Allah untuk mengorbankan harta yang paling di sayanginya yakni anaknya sendiri untuk disembelih sebagai ujian ketaannya kepada perintah Allah, yang pada akhirnya Allah SWT menggantikannya dengan perintah menyembelih hewan. Nabi Ibrahim mau dan rela mengorbakan anaknya sekalipun merupakan bentuk ketundukan terhadap perintah Tuhan atau motif keimanan.

Kontras dengan kisah Nabi Ibrahim yang berkorban atas dasar motif keimanan dan ketaqwaan, pada sebagaian dari kita (mayarakat Bima), justru di hari suci tersebut tunduk dan menyerah pada kemauan nafsu dan emosi yang tidak lain merupakan pintu setan/iblis memperdayai manusia. Fenomena manusia yang tunduk pada jiwa vegetafinya (nafsu dan emosi) di atas, sesungguhnya potret dari kondisi umum yang sering terjadi hampir disebagian besar wilayah Bima. Persoalannya kemudian kenapa kasus-kasus pembunuhan atau sikap agresif seperti ini menjadi mudah sekali muncul dan intensitasnya cukup sering terjadi. Pertanyaan ini sekilas sederhana tetapi sesungguhnya tidak mudah untuk ditemukan satu jawaban tunggal, karena itu fenomena maraknya kasus pertikaian sosial umumnya termasuk konflik horizontal, lebih khusus lagi kasus pembunuhan untuk menjelaskannya perlu dilihat dari berbagai sudut pandang.

Sikap agresif, termasuk mudahnya sesorang melakukan penganiayaan yang berujung pada kematian, kalau dilihat dari sudut pandang hukum, jelas merupakan sebuah perilaku yang mencerminkan pribadi yang tidak taat terhadap hukum, tidak memilki kesadaran dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, sistem hukum di negara kita (KUPH) sudah menyiapkan hukum yang sedemikian rupa dalam rangka memberikan balasan yang setimpal.

Jelasnya, sikap agresif (konflik, pembunuhan) dalam sudut pandang hukum positif merupakan gejala yuridis. Akan tetapi, hukum bukanlah sistem yang ada dalam ruang hampa dan kosong, hukum sesungguhnya bersentuhan dengan ranah empiris (realitas sosial), psikologis (jiwa), bahkan realitas metafisik (keimanan). Oleh sebab itu, persoalan perilaku pelanggaran hukum tidak bisa dilihat semata-mata sebagai perilaku yang tidak berkesadaran hukum semata atau pelanggaran norma hukum positif, karena kita akan menemukan kebenaran yang dangkal kalau sudut pandang dibatasi sebatas gejala yuridis. Karenanya, sudut pandang lain sangat penting untuk menjelaskan perilaku agresif itu, dan ragam sudut pandang inilah yang hendaknya menjadi bahan pertimbangan.

Dari sudut pandang agama misalnya, perilaku pembunuhan atau manusia yang suka membuat kerusakan merupakan gambaran manusia yang gagal menginternalisasi pesan kedamaian dalam agama, tidak takut dosa dan ingkar terhadap ketentuan Allah, dari sudut pandang moral dan kejiwaan perilaku agrsif adalah potret manusai yang dipimpin oleh jiwa hewaninya (nafsu dan emosi). Faktor pemahaman dan internalisasi agama yang kemudian berimbas pada rapuhnya jiwa yang dikuasai iblis/setan lewat nafsu dan emosi, jelas berkonstribus signifikasi dalam menyumbang perilaku agresif, dan yang pasti ada banyak orang yang mengalami fluktuatifnya ketaqwaan dan stabilan emosi/nafsu, cuman kadar dan cara penyalurannya saja yang berbeda intensitasnya.

Selain aspek kejiwaan diatas, faktor sosiologi (kebudayaan), termasuk peran pemerintah dalam melakukan pembangunan perlu di telaah perannya dalam sebuah gambaran masyarakat agresif Bima, pada titik inilah inilah kita terpaksa harus berpikir kebelakang. Dalam konteks masyarakat Bima pada umumnya, saya mengamati masyarakat Bima pada hakekatnya merupakan sebuah potret masyarakya yang sedang mengalami transisi kebudayaan, yakni dari kebudayaan lama yang berbasis kekeluargaan, musyawarah (gotong royong), religius, agraris dan tradisonal menuju masyarakat yang semi-liberal, demokratis struktural, pra-modern, pra-industi, pra-jasa, informatik.

Transisi tersebut muncul pertama kali ketika momentum kejatuhan Orde Baru dimana peran militer yang serba proteksionis-represif sangat kuat, yang kemudian digantikan oleh era reformasi, dimana masyarakat Indonesia umunya dan Bima khususnya mengekspresikan kebebasan dengan cara yang salah.Era reformasi yang yang ditandai dengan desentralsiasi (otronomi daerah) dikuti oleh liberalisasi politik yang luar bisa. Liberalisasi poliitk ini mendorong sikap pragmatisme dan materiliasme ditengah masyarakat, oleh sebab biaya politik yang sangat mahal. Peran pranata sosial lama (orang tua, kerabat, guru ngaji, lebe, galara dll.) seiring waktu mulai bergeser dan luntur kewibawaannya, kemudian digantikan dan dikooptasi oleh pranata baru yang serba individualise, material, rasional, dan fromal.

Kondisi di atas, diperparah dengan suplai kepemimpinan lokal yang lemah dalam visi dan komitmen kebudayaan, implikasinya dari tidak adanya visi kebudayaan Pemerintahan Daerah gagal merawat pranata lama yang tergerus oleh arus perubahan, maka kitapun kehilangan daya tahan, kehilang daya tahan menyebabkan kita hilang momentum, hilangnya mementum berimplikasi pada lemahnya daya saing. Karena kita kehilangan daya tahan, menyebabkan kita menjadi masyarakat yang mengadopsi ragam nilai dari segala penjuru secara bebas, tanpa ada sistem yang filter dan memproteksi secara memadai. Tidak heran kemudiankita menyaksinya begitu mudahnya barang haram serti narkoba menyebar kepelosok kampung tanpa ada sistem yang memproteksinya, termasuk fenomena konflik sosial yang sering terjadi sebenarnya bisa saja ditangkal dan di lokalisir sendainya sistem pranata lama masih dirawat dan di adaptasikan.

Kita tidak mungkin menyerahkan segala urusan ini termasuk persolan pencegahan perbuatan-perbuatan kriminal ditengah masyarakat diserahkan seutuhnya kepada institusi modern semacam Polisi, Tentara, pengadilan, birokrasi dll, oleh sebab secara makro negara ini sedang dalam masa transisi, dimana segalanya masih berupa menunju lebih baik, bahkan sebaliknya kondisinya cenderung lebih buruk (Lihat Shaomin Li, Ilan Alon dan Jun Wu, 2017).

Maraknya perilaku agresif yang terjadi pada masyarakat Bima, sekali lagi jelas sedang memperlihatkan gejala transisi yang sedang terjadi, dan kita umunya gagal adaptasi dengan gerak langkah jaman, karena kita gagal adaptasi, maka kita sulit untuk bersaing, gagal memaksimalkan keunggulan, kemanjuan dan keunggulan masih sekedar harapan bahkan mimpi.

Kami berpandangan, untuk menangkal perilaku agresif termasuk maraknya kasus pembunuhan dan konflik horizintal pada masyarakat Bima, pertama-tama, tentu saja harus di lakukan pemetaan secara komprehensif terlebihdahulu tipologi termasuk pola-pola dan sebabnya konflik yang ada selama ini, agar diketahui sebab paling determinan dan karakteristiknya dengan baik, lalu kemudian dijadikan sebagai bahan untuk melakukan resolusi konflik, dan baik yang berjangka pendek, menengah, maupun panjang, yang pailng penting dari semua upaya itu adalah, pentingnya perubahan pola dan fokus pembangunan di daerah ini, dimana aspek kebudayaan Bima yang kental dengan keislamannya termasuk pranata sosial lama harus menjadi perhatian utama untuk di rekonstruksi dan diadaptasikan dengan semangat jaman masa kini dan tantangan masa mendatang, agar kita tidak menjadi masyarakat yang ahistoris, yakni masyarakat yang tidak relevan dengan semangat jamannya.

Wallahualam

*Ketua Prodi Ilmu Hukum STIH Muhammadiyah Bima dan Direktur Pusat Studi Resolusi Konflik dan Pembangunan Desa (PurfoF PeDe)