Kota Bima, Kahaba.- Arif, warga berdomisili di Kelurahan Rontu mengeluhkan sikap Lurah Penanae yang hingga saat ini masih menghambat penerbitan sertifikat sawah miliknya di Tolomango seluas 12 are dan tanah tegalan di So Kalo seluas 1,41 hektar yang berlokasi di Kelurahan Penanae.
Saat mendatangi media ini, Minggu pagi (30/8) Arif didampingi istrinya Chettiar Ammy Laurent mengungkapkan memang pada awalnya muncul sengketa terhadap tanah tersebut. Sehingga membuat Lurah Penanae menghambat diterbitkannya sertifikat 2 lahan dimaksud.
Ia menceritakan, orang tuanya Syarifudin Abubakar pada tahun 2008 meninggal dunia karena sakit. Kemudian tahun 2010 terjadi pembagian warisan oleh almarhum. Warisan tersebut diperoleh Syarifudin Abubakar dari orang tuanya, Abubakar H Sulaiman.
“Warisan itu disampaikan dan diketik oleh H Abdul Jabar, selaku Usbah penerima amanat dari Abubakar ke Syarifudin dan dari Syarifudin ke para ahli waris,” terangnya.
Pembagian beberapa tanah warisan itu ungkap Arif, tercantum dalam surat musyawarah mufakat. Pertama, rumah yang sudah dijual tahun 2020 dan sudah balik nama sertifikat atas namanya dan pembeli rumah. Kemudian sawah di Kendo seluas 9 are juga sudah terjual tahun 2014 olehnya.
Lalu yang ketiga, sawah di Tolomango seluas 12 are yang sudah digadaikan Arif ke Hamdan, lalu dipindah gadai ke seorang perempuan inisial ARB tanpa izin Arif.
“Lahan sawah itu kemudian menjadi sengketa, karena ARB mengaku tanah ini miliknya dan tidak mau menerima uang tebusan gadai serta tidak mau keluar dari tanah sawah tersebut,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, lahan tegalan di So Kalo seluas 1,41 hektar juga diklaim oleh ARB. Dirinya yang mau membuat sertifikat pun dihambat lurah karena alasan sengketa dengan ARB. Padahal dulu tahun 2010, ibu dari Arif membuat surat kuasa untuk menjaga tanah tegalan ini kepada Hasan, ditandatangani dan dicap RT dan RW.
“Surat kuasa ini dapat membuktikan kepemilikan lahan itu karena ada saksi RT dan RW,” katanya.
Arif juga mengakui, lahan sawah seluas 6 are yang sudah terjual tahun 2020 oleh FD, anak hasil pernikahan siri almarhum orang tuanya, dan surat jual beli ditandatangani oleh Lurah Penanae. Padahal surat keterangan lurah masih belum diakui oleh lurah sendiri, tetapi lurah melakukan jual beli dengan surat keterangan tersebut.
“Ini juga yang rancu,” sorotnya.
Kemudian, tanah sawah di Tolomango seluas 2 are diberikan kepada ARB untuk menggantikan rumah panggung yang juga warisan dari Abubakar, kemudian sudah dijual oleh almarhum Syarifudin.
Pada tahun 2017 sambung Arif, ada somasi dari pihak ARB karena menuntut harta peninggalan almarhum Syarifudin. Tetapi permohonan gugatannya selalu ditolak oleh Pengadilan Agama, karena ARB tidak termasuk ahli waris dari Abubakar dan Syarifudin.
“Tetapi Lurah Penanae selalu membawa surat somasi dari ARB sebagai bukti sengketa, tetapi jelas itu tidak berdasar hukum,” terangnya lagi.
Tahun 2019-2020, gugatan dilayangkan juga dari pihak FD, tapi selalu ditolak oleh hakim karena status pernikahan ibunya dan karena pembagian telah terjadi tahun 2010. Bahkan waktu itu sudah ditandatangani semua pihak di atas materai dan pengadilan tidak bisa menggugurkan surat musyawarah mufakat pembagian warisan tersebut.
Arif kembali mengakui, hingga saat ini Lurah Penanae masih tidak mau menandatangani berkas sporadik dari BPN. Padahal berkas berkasnya ini sudah lengkap dan sudah ada surat keterangan kelurahan untuk mengesahkan surat musyawarah mufakat pembagian pada tahun 2010.
Untuk menyelesaikan urusannya, Arif juga sudah melapor kepada BPN di bagian sengketa. Bahkan sudah pernah dipanggil untuk mediasi, tetapi ARB tidak bisa menunjukan bukti-bukti dan saksi yang mendukung somasi keberatannya.
Selain itu, dirinya juga sudah bersurat ke Walikota untuk melaporkan Lurah Penanae, tetapi tidak ditanggapi sampai sekarang. Ketika ia menanyakan proses laporan ke Bagian AP Setda Kota Bima, solusinya justru menganjurkan Lurah Penanae untuk menggugurkan surat keterangan kelurahan tersebut.
“Semakin tidak benar ini, lantas atas dasar apa Bagian AP ingin menggugurkan surat tersebut. Sementara sudah ada pihak yang menjual tanah dengan ditandatangani oleh Lurah Penanae menggunakan surat keterangan kelurahan. Sudah jelas lurah penanae ini menghambat administrasi saya dalam pembuatan sertifikat,” tudingnya.
Di tempat terpisah, Lurah Penanae Nurhayati yang dikonfirmasi menjelaskan masalah ini sudah lama dicarikan solusinya. Berbagai upaya pun telah dilakukan seperti dimediasi oleh RT dan RW. Kemudian dibahas di Kantor Lurah Penanae, tapi karena tidak ada solusi, dimediasi di Kantor Camat bahkan sampai ke kantor kepolisian, tetap tidak ditemukan solusi.
“Sampai sekarang memang tidak ada penyelesaian antara Arif dan ARB,” katanya.
Ia mengaku, dirinya tidak menandatangani surat yang diajukan oleh Arif karena menunggu masalah antara keduanya diselesaikan. Karena jika paksa diurus, maka akan terjadi keributan di kelurahannya.
“Saya tidak mau itu terjadi, apalagi antara Arif dan ARB itu keluarga, masih keluarga juga dengan saya mereka berdua itu,” tuturnya.
Disinggung kenapa tidak melihat persoalan ini dari riwayat asal muasal lahan ? Lurah menjawab, dirinya sebagai kepala wilayah hanya ingin menyelesaikan masalah itu secara baik-baik. Jika urusan keduanya sudah selesai, maka ia tentu akan menandatanganinya.
*Kahaba-01