Kota Bima, Kahaba.- Tahun 2019 Dinas Pertanian NTB memiliki paket proyek Rp 64 miliar, terdiri dari pengadaan bibit jagung Rp 22 miliar, bibit padi Rp 15 miliar, pengadaan irigasi tetes Rp 22 miliar, pengadaan hand traktor dan pompa air Rp 9 miliar. Tentu saja anggaran sebanyak itu, menakjubkan untuk pengembangan produktifitas di sektor pertanian.
Menurut Ketua KPW STN NTB Irfan, bukan lagi hal yang tidak diketahui oleh semua kaum tani disetiap daerah di NTB, jika setiap kali ada pendistribusian bantuan bibit, pestisida dan alsintan menjadi hal yang lumrah setiap tahun terjadi penyimpangan.
Mulai dari distribusi bantuan bibit yang tidak sesuai dengan permintaan petani yang sudah mengajukan calon petani calon lahan (CPCL), sampai dengan bantuan alsintan yang tidak tepat sasaran. Dan baru-baru ini, diduga dihilangkan oleh beberapa oknum Dinas Pertanian di Kabupaten Bima.
Ia mengungkapkan, pada tahun 2018, program swasembada pangan menjadi prioritas di Dinas Pertanian NTB. Di Kabupaten Bima terjadi kejanggalan dimulai dari usulan kelompok tani yang tidak sesuai dengan permintaan CPCL, yaitu varietas bibit jagung bisi 18. Namun yang direalisasikan varietas bibit jagung premium 919, Biosed, Bisi 2, Bima Uri, dan Bima Super.
Sementara di Kabupaten Sumbawa kata dia, untuk masa tanam Bulan Oktober – Maret 2018-2019, bantuan bibit jagung dengan nilai anggaran Rp 22 Miliar. Juga menjadi salah satu dari 9 Kota dan Kabupaten di NTB yang mendapatkan pendistribusian bibit jagung yang dipihak ketigakan oleh Dinas Pertanian NTB melalui PPK kepada Pihak PT Benindo Perkasa Utama.
“Hanya saja, timbul persoalan. Bantuan bibit jagung dengan jenis varietas JH 27 diniliai tidak memenuhi standar kualitas untuk ditanam. Terbukti pertumbuhan di lapangan hanya memenuhi 10 persen,” ungkapnya melalui siaran pers yang disampaikan ke media ini.
Pada bulan Mei sambungnya, perusahaan telah mengeluarkan surat dengan Nomor : 001/BPU-NTB/V/2019 permohonan maaf sekaligus mengembalikan dan menggantikan bibit yang tidak sesuai dalam spek kontrak tersebut, dengan permintaan petani yang didistribusikan pada tanggal 13 Maret 2019. Sehingga menggantikan dengan varietas HJ 21 Agritan sebanyak 30.000 kg.
Pada dasarnya menurut Irfan, jika dalam juklak dan juknisnya dipahami dengan seksama. Maka tidak akan mungkin terjadi berulang-ukang kali kesalahan ini. Karena di dalam juklak dan juknis setiap bibit jagung yang akan didistribusikan, harus memilki standar lisensi dari Balai Pengawasan dan Sertifikat benih pertanian (BPSBP). Sehingga tidak perlu lagi ada uji coba laboraturium pada saat pelaksanaan pendistribusian.
“Artinya, bibit yang didistribusikan sudah menjadi barang yang siap ditanam dengan standar yang legalitas yang jelas. Apalagi ada bibit jagung yang dikembalikan karena tidak layak ditanam,” urainya.
Jika melihat persoalan ini berulang-ulang dari tahun ke tahun kata dia, maka ini pasti diindikasikan memilki niat kejahatan untuk merugikan petani dan negara. Bayangkan saja di Kabupaten Sumbawa benih tersebut HJ 27 tidak memenuhi syarat tumbuh sebanyak 85 persen, dari semula varietas JH 27 sesuai kontrak memiliki volume 45.000 kg, akhirnya terdapat yang tidak lulus uji sebanyak 44.220 kg.
Rinciannya untuk areal 15.000 hektar MK 1, untuk areal 13.755 hektar MK 2, untuk MK 1 dengan luas 10.000 hektar berasal dari bantuan provinsi, rinciannya 7.000 hektar atau 105 ton untuk varietas HJ 21 dan 3.000 hektar atau 45 ton varietas HJ 27.
Jika dihitung kerugian petani, tentu saja mencapai ratusan miliaran dengan melihat kondisi di lapangan persentase pertumbuhan bibit jagung yang didistribusikan hanya pertumbuhan mencapai 10 persen. Dan jika dihitung kerugian negara dari proyek pengadaan bibit jagung tersebut, bibit jagung yang terpakai hanya sebanyak 780 kg, untuk di Kabupaten Sumbawa saja, belum lagi di hitung di 9 kota dan kabupaten di NTB.
Untuk keterlambatan waktu mendistribusikan bibit saja menurut Irfan, petani tidak mungkin akan dapat menanam. Apalagi terjadi pengembalian dan pergantian bibit jagung dalam waktu dan musim yang telah berlalu. Padahal kultur lahan petani di NTB sebagian besar petani musiman yang mengandalan tadah hujan. Jika musimnya sudah terlewatkan, maka petani tidak akan dapat menanam lagi, dan menunggu musim tanam berikutnya di bulan September sampai dengan bulan Desember 2019.
“Jika kejadian ini terus terulang, maka wajib hukumnya Serikat Tani Nasional NTB mengusut tuntas kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena di dalamnya terdapat indikasi tindak pidana korupsi yang merugikan negara,” jelasnya.
Terhadap masalah ini, pihaknya mengajak seluruh elemen mahasiswa, pemuda dan kaum tani bersatu untuk mengusut tuntas indikasi tindak pidana korupsi proyek pengadaan bibit jagung Tahun 2018 – 2019 di Dinas Pertanian NTB. dan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga untuk turun mengusut dugaan kejahatan terstruktur tersebut.
Kemudian, meminta negara dalam hal ini Pemprov NTB untuk menggati rugi petani jagung yang ada di kabuapten dan kota se-NTB. Meminta KPK dan TP4D untuk serius dalam menyelidiki kasus indikasi tindak pindana korupsi proyek pengadaan bibit jagung dan alsintan tahun 2018-2019.
Lalu, Pemprov NTB segera mengevaluasi jajaran instansi dan oknum OPD di Dinas Pertanian NTB dan perusahaan pemenang tender yang terindikasi tindak pindana korupsi proyek pengadaan bibit jagung.
“Kaum tani harus melawan, tidak cukup untuk bersabar menunggu nasib beruntung. Maka mari berjuangan merebut bersama-sama kesejahteraan yang berkeadilan,” ajak Irfan.
*Kahaba-01