Editorial. Kahaba.- Fenomena bolosnya delapan anggota DPRD Kota Bima dalam agenda studi banding ke Kota Batam yang berujung di meja hukum adalah potret buram atas kualitas dan integritas wakil rakyat negeri ini. Kasus bolos saat studi banding, titip absen di saat sidang bahkan tidur saat rapat pembahasan nasib rakyat adalah fenomena yang tak asing lagi kita saksikan di lembaga legislatif. Adegan baku hantam yang memalukan lembaga terhormat itu pun kerap terjadi dan selalu saja terulang. Tak salah kiranya, mantan Presiden RI, Gus Dur, pernah menyebut anggota DPR seperti anak TK.
Bolos saat mengikuti kegiatan wajib seperti studi banding, apalagi telah menerima dana kegiatan hingga belasan juta rupiah memang tindakan yang tidak terpuji. Hal itu seolah-olah mengambil uang rakyat tanpa mau bekerja sesuai dengan gaji dan imbalan yang telah diterimanya. Untung saja, media segera mengetahui hal itu. Jika tidak, mungkin kesepakan pengembalian uang seperti yang dilakukan enam anggota dewan tersebut bisa saja tidak dilakukan.
Kasus itu kini di tangani Kejaksaan Negeri Raba Bima. Biasanya, ketika kasus menyinggung kalangan elite selalu berujung dinegosiasi dan jarang yang menghasilkan amar putusan. Apalagi ada i’tikad baik dari enam anggota DPRD dan telah mengembalikan uang rakyat tersbut, walau masih ada dua orang (Mahlan dan Jaidin) yang ‘nakal’ dan tidak mau mengembalikan dana tersebut.
Saat ini, kasus itu menjadi buah bibir berbagai kalangan. Nuansa politis pun diklaim sebahagian golongan dalam kasus dana SPPD itu. Subhan misalnya, bakal calon Walikota itu dengan terangnya mengaku bahwa kasus itu sarat politis.
“Kasus itu hangat dan terus naik ke permukaan, karena ada nama dirinya sebagai salah satu yang bolos saat studi banding ke Kota Batam. Kasus ini sengaja diarahkan ke lembaga hukum, bukan untuk memberi pelajaran agar tak terulang kemudian hari, melainkan sebagai batu sandungan agar dirinya terkendala saat ingin menjadi calon walikota tahun 2013 mendatang,” klaim Mantan Ketua DPRD Kota Bima itu kepada Kahaba.info.
Hukum sebagai panglima, tentu harus mengeyampingkan kepentingan politik praktis agar dia terus dihargai dan dihormati masyarakatnya. Hukum wajib berjalan tanpa intervensi. Sifatnya yang independen harus terus terjaga walau langit runtuh di negeri ini. Sudah waktunya pula, sebuah integritas dan kapabilitas seorang wakil rakyat harus di pertontonkan kehadapan rakyatnya. Rakyat jenuh dengan wakilnya yang selalu mengedepankan kepentingan perut, pribadi dan golongan dan melupakan kepentingan berbangsa dan bernegara. [BM]