Oleh: Mawardin*
Kita sedang berbalapan di arena terbuka dalam kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang telah diberlakukan sejak 2015. MEA telah menerobos batas-batas teritorial negara. Persaingan antar negara-negara semakin kompetitif dalam frame Komunitas ASEAN yang terdiri dari tiga pilar utama, yaitu: pilar politik keamanan, pilar ekonomi dan pilar sosial budaya. Geliat persaingan itu ditandai dengan transformasi arus barang dan jasa yang semakin bebas. Begitupun arus modal dan investasi, serta transfer tenaga kerja.
Peluang Indonesia di era MEA tak terlepas dari pangsa pasar yang besar. Pemerintah pusat dan daerah ditantang untuk menaikkan gas motor pembangunan. Dalam konteks daerah Bima, pemkab maupun pemkot diharapkan bergerak cepat, mengakselerasi pembangunan di jagad milenial ini. Pemberlakuan MEA sudah berjalan, dan akan terus bejalan. Akan tetapi, kadang kita yang berada di daerah masih berkutat pada hal-hal yang menyita energi, glorifikasi romantisme masa lalu, kekerasan komunal, ego sektoral, demokrasi kultus, rawan terpapar hoax, defisit literasi dan lainnya.
Kita perlu menciptakan daerah yang aman dan damai. Ramah bagi orang luar. Itu tanggung jawab bersama. Percakapan publik dikreasi, agar bernada produktif dan bagaimana sejatinya mengaktualisasikan spirit keagamaan yang melahirkan produktifitas pembangunan.
Dunia terus berubah. Negara-negara ASEAN seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam sudah banyak yang belajar dan menguasai bahasa Indonesia untuk melirik dunia profesional di Indonesia. Mungkin saja, kalangan profesional Malaysia dan negara-negara ASEAN lainnya lantas mengepung loker-loker dunia usaha di NTB, termasuk Bima.
Implikasinya, terjadi perebutan ruang-ruang ekonomi strategis di Bima. Sementara di daerah kita, daya kohesifitas antar wilayah tampak masih kurang. Efeknya, keunggulan tiap-tiap wilayah terpencar-pencar, tidak menjelma jadi kekuatan dahsyat.
Kita pun jadi gagap. Sebelum kita bersaing dengan aktor-aktor dari negara tetangga, kita coba berkompetisi dengan daerah tetangga. Bima punya kekayaan alam yang beragam. SDM kita pun tak kalah hebatnya. Hanya saja perlu kanalisasi yang tepat untuk menyalurkan potensi sumber daya, spesifikasi peminatan dan kemampuan yang ada.
Letak dan posisi Bima yang berada di Pulau Sumbawa memiliki aksebilitas yang terbuka. Secara umum, geostrategis NTB berada pada jepitan dua alur pelayaran internasional, yakni alur pelayaran selat Lombok dan alur pelayaran selat Timor. Posisi itu mesti dikapitalisir sebagai pusat keramaian yang menggerakkan sumber daya ekonomi masyarakat setempat.
Proyeksi NTB sebagai sentral niaga yang didukung oleh infrastruktur yang mapan, maka pihak luar pun akan berlomba-lomba melirik NTB sebagai tujuan investasi sekaligus destinasi wisata internasional, sembari kita menata iklim sosio-kultur-politik masyarakat yang terbuka dan menghargai keanekaragaman. Bima dapat memainkan lakon itu. Pun Dompu, Sumbawa maupun Lombok dalam koridor NTB Gemilang sebagaimana embusan angin optimisme yang ditiup oleh Zulkieflimansyah Sitti Rohmi Djalilah.
Memanggil Diaspora Bima
Sebenarnya orang Bima di perantauan banyak yang sukses. Kalau kita ambil sampel di Jakarta, dulu istilah “Babikuning” cukup kondang, yang merujuk pada tiga suku Batak-Bima- Kuningan, menguasai struktur birokrasi pemerintahan di ibukota negara. Hingga kini, dou Bima pun masih eksis di jajaran kedinasan di Jakarta, karena kompetensi dan kapabilitasnya.
Belum lagi pengusaha yang tersebar di kota-kota besar, seperti juragan bawang merah, raja minyak dll yang berada di Banjar, Makassar, Papua, Pulau Jawa dan lainnya. Ditambah tokoh-tokoh nasional asal Bima di beberapa bidang strategis. Hal ini bisa menjadi kekuatan tersendiri bagi daerah Bima untuk memperkokoh konektivitas dengan masyarakat diaspora itu.
Pihak pemda seyogyanya memanfaatkan jaringan Bima perantauan untuk membangun kampung halaman secara berjamaah. Pemerintah daerah mesti menerjemahkan potensi dan peluang itu di aras lokal, kemudian diletakkan dalam bingkai tantangan regional ASEAN. Reformasi birokrasi perlu diperhatikan secara detail hingga jajaran aparatur ke bawah. Harus diimplementasikan secara total. Sehingga pelayanan publik berjalan efektif dan efisien.
Itulah pentingnya riset yang terukur sebagai acuan bagi pemerintah guna mengetahui secara objektif kebutuhan ril masyarakat. Untuk menggerakkan ekonomi, perlu didukung juga dengan infrastruktur yang memadai, iklim investasi yang kondusif, perbaikan regulasi yang meringankan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan akses permodalan yang luas. Tenaga-tenaga terampil dan kreatif yang bekerja di sektor formal dan informal mesti diperluas.
Karena itu, dibutuhkan terobosan khusus dari pemkab maupun pemkot Bima dalam merumuskan kebijakan strategis daerah melalui tim komunikasi andalan yang bisa menjembatani antar mitra strategis, dalam maupun luar negeri. Pemkab/Pemkot Bima dapat membangun kolaborasi stratejik dengan pengusaha melalui regulasi yang mendukung iklim usaha di tingkat lokal. Penyediaan kawasan industri, optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk marketing dan branding daerah, kampanye dan promosi produk lokal lewat pameran atau bisnis ekspo ke negara-negara ASEAN adalah beberapa hal yang bisa dimaksimalisasikan.
Dalam konteks proyeksi pemajuan daerah dengan memanfaatkan diaspora masyarakat Bima, kita bisa menyerap inspirasi dari Gebu Minang (Gerakan Ekonomi dan Budaya Minangkabau), atau KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan). Gebu Minang adalah organisasi masyarakat Minangkabau yang berpusat di Jakarta yang berbasis pada pembinaan potensi Minang perantauan untuk membangun kampung halaman, dengan mendirikan kantor perwakilan di banyak wilayah di Indonesia dan luar negeri. Pun KKSS, yang menghimpun potensi perantau, terutama Bugis-Makassar.
Memang Bima tergolong etnis kecil, tapi secara historis mampu membuktikan keperkasaannya di palagan politik Jakarta dalam jejak Batak-Bima-Kuningan (Babikuning)” sebagaimana diulas di atas. Nama-nama besar dari kalangan birokrat seperti Mochtar Zakaria, Harun Al-Rasyid, Burhanuddin, Junaedi, Arifin, Muhammad Nur dll adalah sekadar contoh inspiratif kiprah kepamongan dou Bima di tanah rantau.
Semangat berdiaspora yang melegenda itu tercermin pula pada Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi, guru besar dari beberapa ulama besar Indonesia sekaligus penyambung mata rantai jejaring Ulama Nusantara dengan Timur Tengah abad ke-19. Di pentas akademik, kita mengenal kepakaran Afan Gaffar, Marwan Saridjo, Abdul Gani Abdullah, Syamsuddin Haris, Farouk Muhammad, Helius Sjamsuddin, Harun Harun dll. Salah satu yang menarik perhatian publik tanah air adalah peran dua Putra Bima, yakni Hamdan Zoelva dan Anwar Usman selaku petinggi MK, sangat berperan penting dalam mengatasi sengketa hasil pilpres 2014 dan 2019.
Nama-nama yang disebut di atas baru skala Bima. Belum lagi diperluas dalam skala Dompu, Sumbawa dan Lombok, yang ikut mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Dus, diaspora Bima dapat diperluas kategorisasinya antara lain diaspora intelektual-akademisi, diaspora ulama-guru, diaspora politisi-birokrat, diaspora pengusaha dll, kemudian dihimpun untuk memajukan daerah sesuai kapasitas masing-masing. Generasi baru Bima dapat belajar dari hal itu, lalu berikhtiar untuk memenangkan masa depan. Semoga.
*Area Researcher/Political Analyst di Charta Politika; Aktivis Perdamaian Bima-NTB