Oleh: Ridwan M Said*
Menjelang berakhir musim hujan, masyarakat Bima kembali dilanda bencana banjir bandang. Menelan kerugian korban jiwa, harta, dan melumpuhkan aktivitas sosial dan lain-lain. Sebenarnya secara umum bencana alam bukanlah peristiwa insidental dan mengagetkan, peristiwa tersebut pengulangan terdahulu. Ketika musim hujan akan ada peristiwa banjir, musim panas kekeringan, kekurangan air dan kebakaran hutan, serta pemukiman warga. Selain mitigasi komprehensif, saat ini diperlukan gerak cepat semua pihak untuk membantu meringankan beban saudara kita yang terdampak, semoga kita mengambil hikmah, dan Tuhan (Allah Swt) yang maha kuasa memberikan kita kekuatan dan kesabaran.
Masalahnya, kenapa peristiwa yang sesungguhnya dapat diprediksi ini selalu berulang, seolah tidak terdapat antisipasi yang terorganisir, atau kenapa tidak ditemukan formula untuk mencegah pada aspek hulu. Aspek hulu inilah yang tidak mudah ditemukan variabel tunggalnya. Sebab, melibatkan berbagai pihak, mulai dari masalah kesadaran, penegakan hukum, kemauan politik (keberpihakan politik anggaran), pola pembangunan, kewenangan tata kelola, sampai pada cara pandang makna lingkungan.
Peristiwa ini boleh jadi disebabkan oleh fenomena alam, serta sumbangsih manusia sendiri. Secara empris sesungguhnya terdapat sumbangsih signifikan illegal logging, perambahan hutan, dan peralihan fungsi hutan menjadi lahan tanaman komoditi yang tidak ramah lingkungan, utamanya oleh sebagian masyarakat (dengan ragam alasan), sehingga daya dukung lingkungan melemah. Tugas jangka menengah dan panjang, pemerintah segera mencari cara pola memanfaatan hutan dengan menanam komoditi yang lebih ramah lingkungan, dan yang lebih penting lagi meningkatan kesejahteraan masyarakat.
Akar Persoalan
Akar masalah dari semua itu sesungguhnya adalah egoisme manusia, atau dalam terminologi filsafat disebut dengan “antroposentrisme”, yakni faham filsafat yang mengarus utamakan kepentingan manusia di atas kepentingan mahluk lain. Faham ini melihat antara alam dan manusia terpisah, alam adalah profam, objek untuk memuaskan hasrat manusia, sembari mengabaikan hak-hak ekosistem lain, serta melihatnya sebagai benda mati yang bebas dieksploitasi. Kalkulasi untung rugi (etika pra konvensional), berperspektif jangka pendek. Paham semacam itu juga disokong oleh fislafat materialisme-hedonisme, menjadi mesin utama yang menggerakan idiologi kapitaslisme dalam mengekspansi alam semesta tanpa mengenal puas dan cukup. Impilkasinya terjadi pemanasan global yang menjadi keresahan warga dunia.
Pola-pola relasi negasi (sumbjek-objek) antar manusia dengan alam semesta harus segera kita tinggalkan. Sebab, lambat laun komunitas non manusia (kosmos) setiap saat bisa saja menjadi bumerang. Secara historis ketika mahluk lain, dan komponen lingkungan selain manusia makin terdesak dan pikun, maka ancamannya juga semakin besar dan nyata.
Agar kita bisa keluar dari bayang-banyang ancaman bencana alam, yang efeknya sangat dahsat menelan kerugian bagi manusia, bahkan mematikan, lebih dahsat dari kematian alamiah (karena faktor sakit). Selain melakukan penataan yang lebih antisipatif, berupa solusi penyelesaian dari hulu, menghentikan segala perilaku yang merusak dan menggangu tumbuh kembang mahluk semesta lainnya, sembari menitikberatkan pada mencari jalan keluar membuka lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan mewujudkan kesejahteraan. Juga kita memerlukan reinterpretasi sudut pandang berupa etika “ekologi dalam”, yakni sebuah pandangan yang melihat isi alam semesta termasuk hewan, binatang, tumbuh-tumbuhan sebagai bagian dari pada komunitas alam yang wajib dijaga, dihormati dan dilestarikan untuk keberlangsungan jangka panjangnya.
Modalitas Kearifan Lokal
Kita Sesungguhnya memiliki modalitas yang kuat dari akar historis dan filosofis sendiri, yang sudah tertanam secara turun temurun dalam membangun relasi dan makna dengan lingkungan. Sehingga alam yang awalnya merupakan rahmat dan karunia tetap terjaga, dan bukan malah menjadi ancaman permanen bagai bangsa manusia, berupa pendekatan ecosocio-budaya dan teologis. Modalitas tersebut berupa relasi kemistri antara lingkungan dengan manusia Bima lewat kepercayaan pada “Parafu” yaitu pada mata air, tanah, pohon, bebatuan, atau sungai, terdapat roh leluhur yang mendiaminya. Itu artinya antara manusia dengan lingkungan harus membangun hubungan harmonis. Konsep “Parafu” ini sebagian masyarakat Bima masih mempercainya, hanya saja tidak terinternalisasi makna terdalam dibaliknya dalam membangun relasi dengan lingkungan.
Selain modalitas sosial budaya dengan konsep “Parafu”, masyarakat Bima juga memiliki modal teologis dalam menjaga pola relasi dengan lingkungan, yakni jejak historis masyarakat yang pernah lama dengan sistem pemerintahan kesultanan, dimana agama Islam (Paradigma profetik) jelas dan tegas mengajarkan bahwa alam semesta (makro kosmos), kedudukannya sakral, tanda kebersaran tuhan (Allah Swt), sumber ilmu pengetahuan, manusia (mikrokosmos) adalah citra dari alam semesta (makrokosmos), isi alam dipergunakan untuk kemakmuran manusia dengan cara yang bijaksana, tidak dirusak dan ditumpuk, dan menjamin untuk generasi mendatang.
Bila kedua modalitas konsep di atas dapat ditangkap makna hakiki dibaliknya, sesungguhnya sangat efektif menjadi fondasi filosofis, dimana manusia dengan alam menyatu, saling mengalami ketergantungan. Sembari menjauhkan diri dari sisi gelap egoisme bahwa hanya manusia yang berhak mendiami lingkungan, dengan begitu bencana alam banjir bandang dimusim hujan, kekeringan dimusim kemarau dapat kita cegah.
*Ketua STIH Muhammadiyah Bima