Kota Bima, Kahaba.- Pemberitaan tentang anak di Bima beberapa bulan terakhir sangat massif, terutama menyangkut beredarnya video dan foto mesum anak. Hanya saja, berita yang diekspos bertentangan dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Menindakanjuti soal pemberitaan yang terkadang membuka aib anak yang mestinya harus dilindungi, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Bima bekerjasama dengan Bidang Anak dan Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram mengelar diskusi bertajuk “Media Ramah Anak” di kedai ILOPETA Kota Bima, Sabtu (23/2).
Diskusi tersebut dihadiri kurang lebih 20 jurnalis. Mereka mewakili media online dan cetak di Bima. Sementara narasumbernya yakni Ketua LPA Kota Bima, Juhriati dan Ketua Biro Aji Mataram Bima, Sofyan Asyar’i.
Juhriati berharap, dari diskusi ini LPA dan Jurnalis Bima bisa saling mendukung dan bersinergis memberitakan tentang anak dengan cara mengedukasi. Sebab, pemberitaan tentang anak menyangkut beredarnya video dan foto mesum anak, dimuat justru kontra dengan UU tentang Perlindungan Anak.
“Misalnya masih ada media yang terang-terangan menyebut alamat hingga sekolah anak. Kami dari LPA tidak masalah dieksposes, tapi harus sesuai tidak ketentuan. Misalnya tidak vulgar,” katanya.
Juhriati mengaku pemberitaan tersebut justru akan menganggu psikologis dan mental anak. Bahkan mereka ketakutan ketika muncul dalam pemberitaan. Ia mengatakan saat anak dihadapkan sebuah kasus dan dibawa ke pihak berwajib, pihaknya bertugas melindungi psikologi dan mentalnya.
“Ada satu kasus tahun 2019 ini, yakni seorang anak yang kabur hingga kini tidak mau pulang gara-gara diberitakan. Siapa yang bertanggungjawab pendidikan dan masa depan anak itu,” tanyanya.
Ia berharap dalam diskusi tersebut Jurnalis bisa lebih arif dan bijaksana, karena dalam penyelenggaraan perlindungan anak, tidak hanya LPA yang bertanggungjawab. Namun yang utama juga peran keluarga masyarakat dan media massa.
“Hal ini sebagai upaya kita menjadikan menjadikan Kota Bima sebagai Kota ramah anak,” katanya.
Juhriati menambahkan saat ini pihaknya sedang giat menjalankan program sehat dan cerdas bermedia sosial terhadap anak, LPA go to school, khutbah keliling untuk memberikan pencerahan dan nasehat pada anak dan orang tua.
Di tempat yang sama, Ketua Biro Aji Mataram Bima Sofyan Asyar’i mengatakan, posisi UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dan UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak, memiliki satu kesatuan yang saling terkait.
Salah satunya tidak membuat berita cabul dengan deskripsi tanpa melihat video tapi dengan membaca narasi sudah seperti menonton. Selain itu, dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, wartawan Indonesia juga tidak langsung menyebutkan identitas kejantanan asusila serta identitas anak pelaku yang terkena tahanan asusila.
“Hal ini bukan membatasi peran jurnalis untuk menulis. Hanya saja ada batasan yang harus dipatuhi dan dipegang bersama dalam kegiatan jurnalistik,” katanya.
Ia berharap jurnalis bisa meramu pemberitaan anak sebagai wahana edukasi terhadap masyarakat. Membuat berita sesuai dengan kode etik yang disepakati organisasi gabungan pers pada 24 Maret 2016 dan UU Pers.
Kabid Anak dan Perempuan AJI Mataram Atina menambahkan, ada banyak Jurnalis yang kerap tidak teliti menulis berita soal anak. Seperti memperjelas alamat atau latar belakang anak, walaupun nama diinisial atau disamarkan.
“Saya berharap pada diskusi ini ada kesepahaman bersama seluruh jurnalis yang hadir dalam menulis berita tentang anak. Kita berharap kita adalah Jurnalis yang ramah anak yang memberikan edukasi kepada publik,” katanya.
Adapun poin Pakta integritas bersama antara LPA Kota Bima dan Jurnalis Bima antara lain, Jurnalis dalam menjalankan tugasnya, patuh dan taat pada kode etik jurnalistik dan UU nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Mematuhi UU RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam Memberitakan kasis yang melibatkan anak. Baik sebagai korban maupun pelaku.
Kemudian Jurnalis dalam memberikan perlindungan pada anak tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan indentitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Menyamarkan dan menginisialkan nama, tidak menyebut alamat jelas, atau alamat yang memungkinkan publik mengetahui keberadaan korban anak dan pelaku.
Wawancara anak harus mendapatkan dampingan dari orang dewasa, tidak menampilkan foto atau gambar anak secara jelas baik yang menjadi korban maupun pelaku. Media Siap Mendukung Program Kota Bima Ramah Anak. Kemudian Jika ada kasus hukum yang melibatkan anak, media akan bersinergis dengan LPA serta Pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak dapat diproses hukum sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku.
*Kahaba-01