Hukum & Kriminal

Keadilan Terbalik, Korban Dibacok Malah Dijadikan Tersangka Pengancaman

450
×

Keadilan Terbalik, Korban Dibacok Malah Dijadikan Tersangka Pengancaman

Sebarkan artikel ini

Kota Bima, Kahaba.- Ardiansyah, seorang warga Desa Tawali Kecamatan Wera, menjadi korban penganiayaan brutal oleh sekelompok preman di Desa Rangga Solo, 30 November 2024. Namun, alih-alih mendapatkan keadilan, ia justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bima Kota dalam kasus tersebut.

Keadilan Terbalik, Korban Dibacok Malah Dijadikan Tersangka Pengancaman - Kabar Harian Bima
Ardiansyah, korban penganiayaan yang dijadikan tersangka. Foto: Ist

Ardiansyah mengaku, kasus bermula ketika dirinya hendak menjemput kakaknya, Sahrul, yang dianiaya oleh kelompok preman di Rangga Solo.

Setibanya di depan rumah pelaku, Ardiansyah dihadang dan diserang menggunakan parang di bagian kepala serta tombak yang menusuk pahanya.

“Akibat penganiayaan tersebut, saya mengalami luka serius dan segera melaporkan kejadian ke Polsek Wera pada hari yang sama,” katanya, Sabtu 18 Januari 2025.

Namun, hingga hampir sebulan berlalu kata dia, kasus tersebut tak menunjukkan kemajuan. Dirinya pun kemudian melaporkannya ke Polres Bima Kota pada tanggal 5 Desember 2024.

Bukannya mendapat kepastian hukum, korban justru menghadapi sikap yang terkesan memperumit proses penanganan kasus.

Ardiansyah pun kerap mendatangi Polres Bima Kota untuk menanyakan perkembangan kasus, tetapi selalu mendapat jawaban bahwa kasus masih dalam penyelidikan.

Padahal, menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, dua alat bukti sudah terpenuhi, yaitu keterangan saksi korban dan visum et repertum.

“Hal ini semestinya cukup untuk menetapkan pelaku sebagai tersangka,” kata dia.

Kemudian sambungnya, pada 15 Januari 2025, ia bersama penasihat hukumnya kembali mendatangi Polres Bima Kota dan mendapat penjelasan kasus telah melalui gelar perkara penyelidikan, sebuah istilah yang tak sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Dalam regulasi tersebut jelasnya, gelar perkara hanya dikenal dalam konteks penyidikan, bukan penyelidikan. Pernyataan petugas yang menangani kasus tersebut dinilai sebagai bentuk pengabaian prosedur dan pencarian alasan untuk menunda penyelesaian kasus.

Lebih mengejutkan lagi, pada 16 Januari 2025, Polres Bima Kota menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas nama korban sebagai terduga pelaku pengancaman, berdasarkan Pasal 335 KUHP.

Anehnya, SPDP itu menyebut laporan polisi baru dibuat pada 13 Januari 2025, padahal laporan pertama korban masuk sejak 5 Desember 2024. Proses yang seharusnya mendahulukan surat perintah penyelidikan juga dilompati.

“Ini sungguh membingungkan. Saya korban penganiayaan, tapi malah dijadikan tersangka,” tanya Ardiansyah yang merasa sangat kecewa dan bingung.

Ia pun mempertanyakan keadilan yang seharusnya ditegakkan dan menyorot kredibilitas aparat penegak hukum.

“Jika hukum hanya menjadi alat permainan dan kepentingan, maka masyarakat kecil layak menyatakan turut berduka cita atas wafatnya keadilan di tangan polisi,” ucap Ardiansyah dengan getir.

Sementara pihak Humas Polres Bima Kota hingga saat ini masih diupayakan untuk dikonfirmasi.

*Kahaba-01