Opini

Melampaui Mitigasi Bencana

354
×

Melampaui Mitigasi Bencana

Sebarkan artikel ini

Oleh: Didid Haryadi*

Melampaui Mitigasi Bencana - Kabar Harian Bima
Korban luka-luka akibat gempa dievakuasi di luar ruangan. Foto: Ist

Gempa bumi yang mengguncang pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 5 Agustus 2018 adalah duka kita semua. Total korban jiwa yang meninggal sampai dengan tanggal 9 Agustus 2018 adalah sebanyak 164 orang (data BPBD). Selain itu ratusan rumah rusak berat, aktivitas sosial lumpuh. Masyarakat pun dilanda trauma dan terpakasa harus mengungsi dan tinggal di tenda-tenda pengungsian.

Meskipun demikian, kita harus tetap kuat dan bangkit dengan saling membantu satu sama lain. Bahkan, kita perlu belajar dari setiap bencana yang muncul, termasuk proses dan pendidikan penanggulangan bencana alam. Salah satunya adalah dengan mulai merawat dan mengampanyekan kepedulian terhadap pentingnya mitigasi bencana.

Sejak dulu masyarakat kita dikena memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Gotong-royong adalah modal sosial yang sangat lekat dengan memori dan senantiasa dimanifestasikan dalam perilaku sosial sehari-hari. Hal ini bisa kita lihat salah satunya dalam kegiatan sosial seperti bersih-bersih desa, kampung, kompleks menjelang perayaan dirgahayu Republik Indonesia. Atau melakukan relokasi dan rekonstruksi pasca terjadinya bencana, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.

Melalui gambaran tersebut secara organik masyarakat kita memiliki sikap kepekaaan sosial yang tinggi dan erat hubungannya dalam merespon sebuah peristiwa, khususnya yang berkaitan dengan bencana alam.

Pasca meluasnya kabar gempa bumi yang terjadi di Lombok, sontak masyarakat kita berinisiatif mengirimkan rasa duka dan menindaklanjuti dengan mengirimkan bantuan berupa tenaga medis, relawan, obat-obatan dan bahan makanan. Perwujudan kepekaan atas peristiwa tersebut secara tidak langsung mengafirmasi sikap kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia.

Hilman Latief, melalui disertasinya yang berjudul ‘Islamic Charities and Social Activism’ menemukan dua hal yang menarik didalam asosiasi ataupun perkumpulan sosial yang senantiasa memberikan bantuan kepada masyarakat. Pertama, para relawan yang biasanya tergabung dalam suatu komunitas dan melakukan kerja-kerja sosial lebih banyak mengidentifikasikan kegiatannya sebagai kegiatan beramal. Atau lebih populer dengan terma ‘charity’.

Menurutnya, istilah ini selalu digunakan dalam kegiatan penggalangan dana baik yang ditujukan untuk solidaritas korban bencana alam maupun untuk kegiatan amal yang secara rutin dilaksanakan oleh sebuah lembaga atau komunitas. Akan tetapi, menurut Hilman istilah ‘charity’ sering dikaitkan dengan bantuan untuk orang miskin, dan memiliki dampak yang terbatas.

Kedua, para sukarelawan yang terjun secara aktif di dalam kegiatan amal ternyata juga menekankan bahwa di samping pekerjaan amal, mereka juga melaksanakan proyek dalam jangka panjang dengan pengembangan dimasa depan. Kemudian mereka mengidentifikasikan kegiatannya dengan istilah ‘filantropi’. Jika merujuk kepada KBBI, terma filantropi memiliki arti cinta kasih (kedermawanan dan sebagainya) kepada sesama.

Berdasarkan hasil riset Hilman, ditemukan ada kecenderungan diantara asosiasi-asosiasi sukarela Muslim yang bekerja untuk orang miskin dengan menyebut diri mereka secara generik sebagai asosiasi filantropi. Selain itu, secara jelas kita bisa memahami bahwa kegiatan amal (charity) ternyata memiliki dampak yang terbatas. Sedangkan filantropi diyakini memiliki dampak yang lebih besar bagi masyarakat, karena mempromosikan nilai-nilai perubahan sosial.

Catatan penting lainnya yang juga perlu diketahui adalah definisi amal dalam beberapa karya ilmiah masa kini memiliki konotasi dengan proyek-proyek yang sifatnya berjangka pendek.

Meskipun demikian, baik charity maupun filantropi harus terus dirawat sebagai bentuk kepedulian sosial kepada orang lain.

Solidaritas Sosial

Secara sosiologis tipe solidaritas dalam masyarakat dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah solidaritas mekanik yang memiliki kerekatan secara alamiah dan kolektivitas yang kuat bagi para anggotanya. Kedua, solidaritas organik yang biasanya kaku, dan lemah dalam merekatkan kolektivitas. Dua istilah ini pertama kali dimunculkan oleh sosiolog terkemuka Emile Durkheim (1858-1917) yang bermaksud melakukan analisis terhadap integrasi sosial.

Melampaui Mitigasi Bencana - Kabar Harian Bima
Foto bersama jajaran pemerintah dan dewan saat mengantar bantuan untuk korban gempa Lombok. Foto: Dok Hum

Jika ditelusuri lebih dalam, dikotomi antara bentuk struktur sosial pramodern dan yang modern tidak hanya dkenal dalam analisa Durkheim. Mungkin sangat mirip dengan distingsi yang pernah dilakukan oleh Ferdinand Tonnies (1855-1936) yang juga sangat terkenal yakni munculnya istilah Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesellschaft (patembayan).

Dalam karyanya ‘Reading in Sociology’, Tonnies mendefinisikan paguyuban sebagai bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Ia bersifat organis dan nyata. Sebaliknya, patembayan merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk yang hanya ada dalam pikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis (Ferdinand Tonnies and Charles P. Loomis, 1960).

Persatuan dan solidaritas sosial bangsa Indonesia bukanlah situasi yang muncul secara tiba-tiba dan tanpa proses panjang. Ia selalu hadir dalam nadi dan batin setiap warga negara yang secara spontan dimanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sosial. Sekaligus menjadi katup penyelamat dalam perilaku kehidupan bermasyarakat.

Gempa bumi di Lombok adalah bencana alam yang tak  bisa dihindari oleh siapapun. Tidak ada relasinya sama sekali dengan utak-atik dan manufer politik menjelang pesta elektoral saat ini. Jika pun ada beberapa orang atau kelompok yang mencoba menghubungkannya, maka disanalah letak banalitas logika yang sebenarnya sedang dipraktikkan untuk menebar kebencian serta minim empati.

Berbekal modal sosial berupa solidaritas tersebut, maka sudah sepatutnya kita semua membangun kesadaran kolektif untuk saling membantu satu sama lain. Memberikan pendidikan berkelanjutan kepada masyarakat yang hidup disekitar daerah rawan bencana. Serta melakukan pengawalan dan pengawasan atas kerja-kerja sosial yang ada di masyarakat kita. Gagasan “proyek bersama” yang pernah dikemukakan oleh Benedict Anderson sangat penting untuk diikhtiarkan dan direnungkan kembali. Terutama dalam konteks memanifestasikan imajinasi kita sebagai bangsa dalam merajut persatuan Indonesia.

*Alumnus Magister Sosiologi di Istanbul University, Turkey