Opini

Meneguhkan Etika Lingkungan dan Keadilan Sosial: Perspektif Filosofis Konflik Hutan di Bima

4190
×

Meneguhkan Etika Lingkungan dan Keadilan Sosial: Perspektif Filosofis Konflik Hutan di Bima

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nabila Putri Hartia Pratiwi dan Ayub Priyadin*

Meneguhkan Etika Lingkungan dan Keadilan Sosial: Perspektif Filosofis Konflik Hutan di Bima - Kabar Harian Bima
Hutan: Foto: Google

Dalam era modern ini, tantangan ekologis dan sosial semakin mendesak kita untuk mempertimbangkan hubungan antara etika lingkungan dan keadilan sosial. Di tengah-tengah perdebatan ini, konflik hutan yang melanda sebagian besar wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi sorotan yang mendalam, khususnya di Bima. Konflik ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang dampak perambahan hutan ilegal oleh karena keangkuhan anthropocene terhadap kerusakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Meneguhkan Etika Lingkungan dan Keadilan Sosial: Perspektif Filosofis Konflik Hutan di Bima - Kabar Harian Bima

Dalam perspektif hukum, perambahan hutan atau deforestasi, merupakan masalah serius yang dihadapi oleh banyak daerah di Indonesia. Padahal, upaya menjaga eksistensi dan keutuhan hutan merupakan bagian dari tanggung jawab moral yang merupakan manifestasi dari keadilan sosial. Namun, di Provinsi NTB, penggundulan hutan ilegal masih terus terjadi, mengancam keberlanjutan kehidupan dan mengabaikan hak flora-fauna untuk menghirup aroma hutan. Mengacu kepada data status lingkungan hidup Provinsi NTB Tahun 2021, setidaknya hutan yang masuk kategori kritis hanya sebesar 1,37 persen, namun yang terdata sebagai potensial kritis sebesar 77,42 persen. Sementara itu perambahan hutan yang terjadi di Provinsi NTB selama tahun 2020 hingga 2021 sebesar 2.339 hektar.

Dalam sudut pandang filsafat, penggundulan hutan tidak hanya berdampak negatif bagi lingkungan, tetapi juga bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Hutan tropis di Indonesia, termasuk hutan-hutan di Bima, memiliki keanekaragaman hayati yang kaya dan berfungsi sebagai sumber daya alam yang penting bagi masyarakat setempat. Hilangnya hutan tidak hanya mengancam keberlanjutan ekosistem, tetapi juga mata pencaharian, keamanan pangan, dan kualitas hidup masyarakat yang bergantung pada hutan. Konflik hutan di Bima merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan berbagai dimensi, termasuk lingkungan dan keadilan sosial. Dalam melihat konflik ini, kita perlu memahami dampak perambahan hutan secara menyeluruh, baik dari segi kerusakan lingkungan maupun dampak sosial-ekonomi yang dialami oleh masyarakat setempat.

Pertama-tama, penggundulan hutan ilegal atau deforestasi menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Hutan tropis di Bima, misalnya, memiliki keanekaragaman hayati yang kaya dan berfungsi sebagai ekosistem yang penting. Penggundulan hutan mengakibatkan hilangnya habitat flora dan fauna, mengancam keberlanjutan ekosistem, dan mengurangi kemampuan hutan dalam menjaga kualitas udara dan air. Selain itu, deforestasi juga berkontribusi pada perubahan iklim global melalui pelepasan gas rumah kaca akibat pembakaran hutan.

Dalam menangani konflik hutan di Bima, pendekatan hukum memainkan peran penting. Hukum lingkungan hidup dan perlindungan terhadap hutan adat dan tanah ulayat menjadi landasan yang harus diperkuat. Perlindungan hutan dan sumber daya alam melalui regulasi hukum menjadi langkah penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Selain itu, penegakan hukum yang efektif dan pemberian sanksi kepada pelaku penggundulan hutan ilegal menjadi langkah yang diperlukan untuk memerangi aktivitas amoral tersebut.

Solusi untuk konflik hutan di Bima tidak terbatas pada pendekatan hukum semata. Filsafat juga memberikan kontribusi penting dalam mengatasi konflik ini. Dalam hal ini, pendekatan filosofis meliputi dua aspek penting. Pertama, etika lingkungan dan konservasi menjadi landasan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Etika lingkungan menekankan tanggung jawab kita sebagai manusia terhadap alam, termasuk perlindungan keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem. Dengan mengadopsi etika lingkungan, kita dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga hutan dan lingkungan serta mengubah perilaku kita agar lebih berkelanjutan. Kedua, keadilan sosial dan partisipasi masyarakat menjadi pijakan untuk memastikan distribusi yang adil dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertimbangan keadilan sosial dalam konteks konflik hutan di Bima melibatkan pertanyaan tentang bagaimana sumber daya alam yang terkait dengan hutan harus didistribusikan secara adil antara masyarakat setempat. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan juga penting untuk mencapai keadilan sosial. Dengan menerapkan pendekatan filosofis ini, pemangku kepentingan dapat memperkuat landasan nilai yang melibatkan etika lingkungan dan keadilan sosial dalam pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan terkait konflik hutan di Bima.

Dalam mencapai solusi berkelanjutan, kolaborasi antara hukum dan filsafat menjadi kunci. Kerangka hukum yang didasarkan pada pemahaman etika lingkungan dan keadilan sosial perlu dipadukan dengan prinsip-prinsip filsafat dalam mengembangkan kebijakan dan langkah-langkah konkrit. Penguatan pengawasan dan penegakan hukum atas kejahatan manusia terhadap alam (perambahan hutan illegal) menjadi penting untuk mencegah dan menghentikan aktivitas tersebut. Pemberdayaan masyarakat lokal juga menjadi aspek krusial dalam menangani konflik hutan, dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan memberikan akses informasi serta pendidikan lingkungan.

Untuk mengatasi permasalahan deforestasi di wilayah Bima, Nusa Tenggara Barat, diperlukan sejumlah solusi konkret. Pertama, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat melalui kampanye pendidikan dan sosialisasi tentang pentingnya menjaga hutan dan dampak negatif dari deforestasi. Selain itu, perlu ditingkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan perambahan hutan ilegal dengan melibatkan aparat penegak hukum dan lembaga terkait. Selanjutnya, perlu dikembangkan alternatif ekonomi bagi masyarakat setempat yang bergantung pada perambahan hutan untuk aktivitas pertanian, seperti melalui pelatihan dan pengembangan sektor ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, rehabilitasi hutan yang rusak akibat perambahan hutan juga penting dilakukan melalui upaya restorasi dan penanaman kembali pohon-pohon yang telah ditebang. Terakhir, kerjasama antara pemerintah, masyarakat setempat, lembaga non-pemerintah, dan sektor swasta perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan pelestarian hutan dan pengendalian kelestarian hutan.

*Mahasiswa Semester I Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima