Opini

Pincangnya Sabalong Samalewa

596
×

Pincangnya Sabalong Samalewa

Sebarkan artikel ini
Oleh: Ekamara A. Putra *
Ekamara Ananami Putra
Ekamara Ananami Putra

Opini, Kahaba.- Judul di atas kiranya pantas untuk menggambarkan suasana yang terjadi di Sumbawa Besar, Kabupaten Sumbawa pada hari Selasa lalu (22/01). Hari ketika Kabupaten Sumbawa tengah merayakan ulang tahunnya yang ke-54. Dinodai oleh aksi sekelompok masyarakat dan mahasiswa yang beringas menuntut transparansi dan keadilan. Transparansi informasi atas kematian seorang mahasiswi, Arniati. Dan keadilan agar Briptu Gde, kekasih korban diadili karena diduga sebagai pelaku pembunuhan Arniati

Dipenuhi Prasangka Buruk

Kematian seorang mahasiswi Universitas Sumbawa (Unsa), yang juga pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Sumbawa, Arniati. Telah membuat kemarahan keluarga korban dan mahasiswa Unsa yang notabene merupakan teman korban. Seperti kita ketahui, bahwa hasil autopsi dan visum yang dilakukan pihak kepolisian. Menyatakan bahwa kematian Arniati, murni akibat kecelakaan lalu lintas yang dialaminya bersama sang Briptu pada hari Sabtu malam (19/01).

Berawal dari di atas, prasangka buruk mulai menghinggapi keluarga dan teman-teman korban. Ketidakpercayaan atas pernyataan kepolisian di atas merupakan bentuk perasaan atas prasangka buruk tersebut. Apalagi, menurut mereka terdapat tanda-tanda penganiayaan bahkan pelecehan seksual terhadap mayat korban. Tak ayal, sang Briptu menjadi sasaran utama, yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan dan harus bertanggungjawab atas perbuatannya.

Aktualisasi prasangka buruk tadi akhirnya diekspresikan melalui keberingasan. Sekitar 200 warga melakukan aksi pembakaran besar-besaran di beberapa lokasi di Sumbawa Besar. Ironi, ketika hari “keramat” Kabupaten Sumbawa Besar akhirnya harus ternodai oleh aksi hewani–pada dasarnya manusia merupakan hewan yang berakal–dari sekelompok kecil warga yang dipenuhi oleh syak wasangka. Nahasnya, karena sang Briptu berbeda asal dan etnis dengan sang korban. Maka apa pun yang berkaitan dengan etnis tersebut, dihancurkan dan dibakar oleh massa termasuk sebuah tempat suci agama tertentu, Pura.

Pincangnya Falsafah Itu

Hampir setiap sudut kota di Sumbawa Besar, kita dapat melihat sebuah tulisan Sabalong Samalewa. Bahkan di depan kantor bupati Kabupaten Sumbawa terpampang besar tulisan berbahasa Sumbawa tersebut. Sebuah falsafah yang sederhananya berarti, pembangunan fisik material dan pembagunan mental spiritual haruslah seimbang. Falsafah adiluhung yang begitu menjunjung keseimbangan dan keserasian di dalam setiap kehidupan.

Namun, apa yang terjadi dan kita saksikan pada “Tragedi Selasa” di Sumbawa Besar lalu. Jelas menunjukkan bahwa falsafah tersebut tengah pincang, tampaknya pembangunan di Sumbawa lebih berat pada pembangunan fisik material (ekonomi dan infrastruktur). Tetapi lemah pada pembagunan mental spiritual (sosial dan karakter). Keberingasan yang ditunjukkan oleh 200 warga di atas, apalagi menyentuh isu SARA, membuktikan bahwa mental dan karakter masyarakat belum terbangun dengan baik. Padahal aksi serupa pernah terjadi di Sumbawa pada medio 2003 lalu.

Dibakarnya Pura dan segala macam yang berkaitan dengan etnik tertentu, lagi-lagi memperlihatkan dengan jelas bahwa masyarakat–di Indonesia pada umumnya–mengalami kerapuhan kohesi dan soliditas sosial yang parah. Karena aksi-aksi serupa juga sering terjadi di daerah lain, seperti Lampung, Makassar, Papua juga termasuk Bima.

Falsafah lokal di setiap daerah, yang notabene selalu menghargai ketenteraman dan menjunjung tinggi perbedaan (pluralitas). Menjadi slogan dan simbol semata yang hanya melekat di dinding-dinding kantor pemerintahan, sekolah, taman kota dan tugu. Tetapi tidak terpatri dengan baik di setiap hati masyarakat setempat. Keadaan tersebut diperparah karena falsafah sekaligus pandangan hidup bangsa, Pancasila, juga diperlakukan demikian. Sehingga rasa satu kesatuan antarwarga menjadi pudar.

Operasi Sabalong Samalewa

Keseimbangan dalam membangun masyarakat yang pincang mutlak harus kembali dilakukan. Untuk itu, setidaknya ada dua metode operasi yang dapat digunakan dalam membangun mental spiritual masyarakat. Pertama, perkuat pendidikan karakter di setiap lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, taman pengajian bahkan keluarga sekalipun, perlu menanam dan menumbuhkan sejak dini karakter-karakter kebangsaan yang kuat.Karakter-karakter tersebut misalnya kejujuran, bertanggungjawab, toleransi, tenggang rasa, dan menghargai perbedaan.

Kedua, pelibatan aktif masyarakat dalam setiap kegiatan dan pengambilan kebijakan. Kondisi sosio-kultural masyarakat yang beragam di Indonesia pada umumnya, memerlukan kehadiran ruang-ruang ekspresi bersama antarwarga. Kehadiran ruang-ruang tersebut akan mampu menciptakan rasa persatuan dan solidaritas sosial di masyarakat. Sehingga antara kelompok di masyarakat dapat memahami dan menghargai perbedaan satu sama lain. Dengan demikian dapat meminimalisir munculnya konflik dan bentrok sosial yang hampir selalu berujung pada kerugian, kekerasan dan kebiadaban.

*Penulis adalah mahasiswa S-1 Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM, Yogyakarta