Kota Bima, Kahaba.- Kota Bima gaduh akibat pembongkaran Lapak Pasar Lebaran yang berlokasi di Pasar Amahami, Jumat kemarin. Pembongkaran itu diawasi langsung Tim Gabungan dari TNI Polri dan Pol PP Kota Bima. (Baca. Perintah Kapolda, Pasar Lebaran Amahami Dibongkar)
Menurut Ketua Serikat Tani Nasional (STN) Provinsi NTB Irfan, kegaduhan itu diakibatkan tumpang tindih dan tidak jelasnya Penegakan Protokol Covid 19 di Kota Bima. Di awali dengan kejanggalan Pemkot Bima yang secara inkonsisten melakukan penegakan Protokol Covid-19, sehingga banjir kritikan di Medsos menjadi viral. (Baca. Pasar Lebaran di Tengah Pandemi, APPSI Dapat Izin Dari Polres dan Rekomendasi Sekda)
“Kegaduhan adanya pembongkaran Pasar Lebaran tersebut telah menunjukan sikap inkonsistennya pemerintah dan yang tidak tahu apa yang harus dilakukan,” kritiknya, Sabtu (8/5).
Menurut dia, Satgas Covid-19 di Kota Bima yang sekaligus dipimpin Walikota Bima, berjalan dua tahun terakhir sudah menggelontorkan anggaran puluhan miliaran. Sumber dana dari Pemerintah Pusat maupun dari setoran PAD Pemerintah Daerah difokuskan untuk penanganan Covid-19, berbagai penanganan sudah dilakukan untuk memutuskan penyebaran Covid-19 di NTB. (Baca. Sekda Akui Beri Rekomendasi Digelar Pasar Lebaran)
Namun menjadi situasi yang mencemaskan, disaat negara yang hampir mengalami resesi ekonomi, akibat anggaran negara digunakan untuk difokuskan pada penanganan pandemi, baru-baru ini kebijakan pelarangan perjalan mudik Idul Fitri ditutup, pelabuhan-pelabuhan penyebrangan ditutup juga untuk sementara dibeberapa daerah, termaksud di NTB. (Baca. Pasar Lebaran Dikhawatirkan Jadi Klaster Baru Covid-19, Jubair: Pemerintah dan Polisi Harus Tindak Tegas)
“Itu semua dikarenakan kekhawatiran muncul klaster baru, klaster mudik. Tapi justru di Kota Bima tumpang tindih tentang penanganan Covid-19, akibat diberikannya izin penyelenggaraan Pasar Lebaran,” ulasnya.
Untuk penyelenggaraan Pasar Lebaran sambung Irfan, terdapat anggaran besar dari para pedagang. Bayangkan saja, ada 260 unit lapak ditarik retribusi senilai Rp 600.000 ribu selama 10 hari. (Baca. Paksa Jual di Pasar Lebaran, Kapolres Akan Tindak Tegas)
Setoran uang sebanyak itu dketahui melalui rekening salah satu Bank. Namun pertanyaannya apakah rekening tersebut atas nama individu, organisasi atau memang atas nama instansi yang berwenang menangani retribusi pasar di Kota Bima, sesuai Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020. (Baca. Ini Klarifikasi Kapolres Soal Izin dari Polisi untuk Pasar Lebaran)
Jika membaca Perda Nomor 3 tahun 2020 tentang Retribusi Pasar di Amahami, ternyata tarifnya senilai Rp 1.000 rupiah/meter persegi. Apabila dihitung luas lapak tersebut tidak sampai 6×6 meter, lantas dari mana acuan retribusi Rp 600.000/lapak tersebut diterapkan selama 10 hari menjelang lebaran.
“Bukankah jika tidak sesuai dengan acuan Perda tersebut adalah tindakan pungutan liar dan dapat di indikasikan tindak pidana korupsi,” sorotnya.
Hingga hari ini diakui Irfan, pihaknya masih mengecek kepada rekening siapa retribusi yang disetor oleh para PKL tersebut, dan karcis lapak tersebut yang dipakai apakah benar dari Koperindag Kota Bima.
“Maka jika dalam waktu dekat ini, anggaran dari retribusi PKL tersebut tidak dikembalikan, akan kami laporkan tindakan tersebut kepada aparat penegak hukum,” tegasnya.
*Kahaba-01