Opini

Redistribusi TORA Eks HGU PT. Tanjung Kenanga Terganjal Cawe-Cawe 

1076
×

Redistribusi TORA Eks HGU PT. Tanjung Kenanga Terganjal Cawe-Cawe 

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ahmad Rifai*

Redistribusi TORA Eks HGU PT. Tanjung Kenanga Terganjal Cawe-Cawe  - Kabar Harian Bima
Ketua Umum Serikat Tani Nelayan (STN) Ahmad Rifai. Foto: Ist

Sudah selayaknya petani yang tergabung dalam enam kelompok tani : Peririk Nasip, Mekar Ayu, Jalan Lingkar, Saling Totang, Bersatu, Kebon Tali Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur anggota Pimpinan Kabupaten Serikat Tani Nelayan (PK STN) Lombok Timur mendapatkan aset dan akses atas eks HGU PT. Tanjung Kenanga, Nomor 3 seluas 38,5 Hektar dan Nomor 4 seluas 130,6 Hektar (total 169,1 hektar) yang jauh sebelumnya merupakan hutan di tanami kelapa oleh negara dengan total luas 541 Hektar, kemudian di jadikan lokasi transmigrasi oleh orde baru seluas 371,9 Hektar.

Namun jauh sebelumnya lahan hutan itu dikuasai oleh Tonponeo seorang pengusaha kolonial Belanda dan Cik Kuit pengusaha yang diberikan otoritas oleh Jepang saat melakukan pendudukan (keterangan petani generasi kedua) sebelum dikuasai oleh Bangsa Indonesia dengan tiga zamannya : Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.

PT. Tanjung Kenanga mendapatkan HGU pada tahun 1988 dan berakhir pada tahun 2013, sepanjang tahun 2001 sampai sekarang petani Desa Dara Kunci tak pernah henti melakukan tuntutan redistribusi tanah eks HGU PT. Tanjung Kenanga, hingga Gubernur NTB waktu itu Bapak Harun Al Rasyid, mengeluarkan surat dengan nomor 550/1055/ekon pada tanggal 22 Oktober 2001, perihal laporan pelaksanaan tugas yang di tujukan kepada Bupati Lombok Timur, Kepala Kanwil ATR/BPN Provinsi Nusa Tenggara Barat, berpendapat agar warga di berikan hak atas tanah (Sertipikat).

Kementerian ATR/BPN RI tahun 2018 lewat surat nomor 1140/35.2-700/IV/2018, perihal tindak lanjut penertiban tanah terindikasi terlantar HGU nomor 3/belanting dan nomor 4/belanting atas nama PT. Tanjung Kenanga Kabupaten Lombok Timur yang di tujukan kepada Kanwil BPN Nusa Tenggara Barat, angka Sembilan huruf (a) berkas HGU PT. Tanjung Kenanga di keluarkan dari data base tanah terindikasi terlantar dan memberikan kesempatan mengajukan pembaharuan HGU, huruf (b) agar Kanwil ATR/BPN Nusa Tenggara Barat melakukan pemantauan dan
evaluasi terhadap penggunaan, pemanfaatan HGU sesuai RTRW Pemkab Lombok Timur, kemudian melaporkannya kepada Menteri ATR/BPN RI melalui Dirjen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Penguasaan Tanah

Terbitnya surat Kementerian ATR/BPN RI terindikasi banyak rekayasa situasi saat pemantauan dan evaluasi terhadap penggunaan, pemanfaatan tanah sesuai RTRW Pemkab Lombok Timur saat itu tidak sesuai dengan fakta objektif, membuat aktifitas petani tidak berhenti untuk melakukan pemanfaatan dan tuntutan redistribusi tanah eks HGU PT. Tanjung Kenanga sebagai realisasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria, Pasal 7 ayat (1) Objek redistribusi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf (a) tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah haknya berakhir, kemudian Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, Pasal 4 Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf (a) dapat berasal dari huruf (g) Tanah Hak yang jangka waktunya berakhir serta tidak dimohon Perpanjangan dan/atau Pembaruan, Pasal 11 Tanah Hak yang jangka waktunya berakhir serta tidak dimohon Perpanjangan dan atau Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf (g) merupakan tanah yang berasal dari Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang telah berakhir haknya dan tidak diajukan Perpanjangan dan atau Pembaharuan.

Tuntutan Petani ditolak oleh Pemkab Lombok Timur, Kanta ATR/BPN Lombok Timur dengan dalil PT. Tanjung Kenanga sudah melakukan pembaharuan HGU, namun sampai saat ini tidak dapat ditunjukkan. Sikap tidak jujur mengarah ke adanya indikasi kolusi antara Pemda Lombok
Timur, Kanta ATR/BPN Lombok Timur, PT. Tanjung Kenanga dengan aktifitasnya di eks HGU membangun tambak yang tidak sesuai dengan peruntukan HGU : penggunaan tanah untuk perkebunan.

Tuntutan redistribusi tanah eks HGU PT. Tanjung Kenanga selain berpijak pada aturan, juga berdasarkan situasi objektif di eks HGU nomor 04 seluas 130,6 Hektar di Belanting telah terbit
100 Sertifikat Hak Milik (SHM) pada tahun 2003 dan 2006 dengan luas 25 hektar, artinya setiap petani di berikan (redistribusi) lahan 0,25 Hektar, hasil perjuangan tahun 1998 (reformasi), kini sudah ada 355 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang terbit tahun 2001 dengan luas 144,1 Hektar (seluruh eks HGU) telah di manfaatkan oleh petani Desa Dara Kunci dengan komposisi kurang lebih setiap kepala keluarga 0,37 Hektar, dimana 16 Hektar di eks HGU nomor 03 di bangun tambak udang oleh PT. Tanjung Kenanga dan sekarang sudah di jadikan aset umum yang diserahkan kepada Pemerintah Desa Dara Kunci sebagai pengelola.

Redistribusi tanah eks HGU PT. Tanjung Kenanga adalah kunci petani Desa Dara Kunci mendapatkan kesejahteraan yang adil, merata sebagai wujud realisasi rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019 yang mentargetkan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui penyediaan sumber tanah objek reforma agraria (TORA) yang berlanjut hingga periode ke dua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, termuat dalam RPJMN 2020-2024 bahwa reforma agraria merupakan kegiatan prioritas yang terdiri dari tiga proyek prioritas yaitu 1).Penataan penguasaan dan pemilikan TORA; 2). Peningkatan kualitas data pertanahan dan legalisasi atas TORA; dan 3). Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan, dan produksi atas TORA.

Sebagai wujud penataan aset dan penataan akses, eks HGU PT. Tanjung Kenanga sekali lagi sudah selayak diredistribusikan kepada petani Desa Dara Kunci oleh Kementerian ATR/BPN RI di bawah bapak Hadi Tjahjanto, agar tidak ada lagi cawe-cawe yang mengkhianati amanat konstitusi.

“Tanah, Modal, Teknologi, Modern, Murah, Massal untuk Pertanian Kolektif di bawah Kontrol Dewan Tani”.

*Ketua Umum Serikat Tani Nelayan (STN)