Oleh : apen MAKESE
Sejarah dan peradaban manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi telah mendominasi kehidupan, sehingga manusia dalam titik kemajuan modernitas seakan-akan dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial. Kemajuan teknologi dan informasi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia dalam menata dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari, baik secara psikologis maupun secara sosiologis. Bahkan teknologi-informasi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia, sehingga kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman. Situasi inilah yang dimaksudkan Giddens sebagai ontological security, dan modernitas-lah yang melahirkan hal ini sebagai wujud nyata atas kemajuan peradaban manusia. Tapi di lain pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi pun tidak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang menjanjikan kebahagiaan juga tetap meninggalkan jejak pengasingan manusia atas sejarah dan identitasnya.
Berkaitan dengan hal di ataslah, maka tulisan ini dikedepankan, namun demikian, tulisan ini bukanlah salah satu tulisan yang memenuhi syarat-syarat normatif (legal-formal) kepenulisan, melainkan hanya sebuah goresan atas keresahan kecil (semacam kelakar) atas miskinnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap nilai dan makna sejarah, khususnya tempat-tempat atau peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di Kabupaten Bima. Atas keresahan itu, maka penulis mencoba mengangkat satu sketsa sejarah yang sedikit bernilai kritik terhadap kenyataan dan-atau keberadaan “Benteng Asa Kota”. Benteng yang menjorok ke laut dan setengah menutupi teluk Bima ini sebenarnya memiliki posisi strategis untuk dijadikan aset daerah (wisata sejarah) atau sebagai bahan refleksi masyarakat dan pemerintah atas kreasi sejarah yang telah dihasilkan oleh leluhur sebagai local genius yang mengagungkan, sebab disanalah terhimpun nilai-nilai perjuangan dan semangat mewariskan kehidupan yang lebih layak, yang secara maknawi adalah ketersambungan sejarah itu sendiri.
Dalam hal ini, kondisi ke-lupa-an-lah yang menghinggapi pemerintah dan masyarakat untuk memaknai Benteng Asa Kota sebagai salah satu local wisdom yang patut dibanggakan, kemudian dihargai sebagai identitas daerah dan masyarakat. Keberadaan Benteng Asa Kota sampai saat ini masih sangat memprihatinkan, dan atas kenyataan inilah maka Benteng Asa Kota semakin tidak memiliki nilai untuk dimaknai sebagai artefak sejarah dan budaya. Pertanyaannya kemudian, seberapa pentingkah nilai dan makna sejarah bagi pemerintah dan masyarakat? Mungkin bagi pemerintah adalah tergantung nilai tukar yang ada pada mata uang. Dan bagi masyarakat adalah tergantung bagaimana pemerintah menjalankan peran dan fungsinya sebagai pemegang peranan.
Bagi penulis, berbicara sejarah adalah berbicara artefak yang ada pada jejak peninggalan, adat-istiadat, kisah dan cerita, cinta dan kesetiaan, yang secara sosiologis maupun antropologis budaya pun berbicara tentang identitas sebuang Negara-bangsa dan masyarakat. Maka arti penting sejarah Benteng Asa Kota haruslah menjadi tanggung jawab bersama, dalam hal ini pemerintah yang secara struktural memegang kewenangan untuk menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah haruslah mengajak masyarakat untuk bersama-sama berhak (partisipasi aktif) pula menjaga, melestarikan dan memiliki tempat sejarah seperti Benteng Asa Kota. Barangkali tepat adanya semboyan bung Karno, bahwa manusia Indonesia tidak boleh Meninggalkan Sejarah-nya, sebenarnya penulis tidak ingin mengutip kata-kata Bung Karno, namun sejujurnya kata-kata beliau merupakan sasmita yang patut dipetik sebagai bahan refleksi sekaligus untuk dijadikan perisai agar kita tetap waspada terhadap akibat modernitas yang disebut oleh Giddens sebagai situasi ontological security, yaitu penulis maknai sebagai tindak-laku permisif tanpa menyadari negatifitas yang dihasilkan oleh modernitas itu sendiri.
Maka dengan demikian, kesadaran membangun kembali Benteng Asa Kota haruslah tetap dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri, terutama pemerintah Desa dan masyarakat Punti di Kecamatan Soromandi sebagai pelaku sejarah yang memiliki kedekatan langsung dengan wilayah Benteng Asa Kota. Jika disadari bersama, Benteng Asa Kota merupakan relasi sejarah-budaya yang akan menguak lapisan sejarah yang samar-samar sejak masa pra-kerajaan (naka dan ncuhi) hingga masa sekarang ini, hal ini pun memungkinkan bagi pemerhati sejarah-budaya untuk menjadikan Benteng Asa kota sebagai referensi yang berupa material culture yang mempertautkan kondisi faktual pada masa lalu dan potensinya untuk masa depan.
Sudah sejak lama Benteng Asa Kota kehilangan identitas sejarahnya, maka pengadaiannya adalah pelestarian dan pemanfaatan Asa Kota sebagai artefak sejarah yang legal-formal dilindungi oleh hukum untuk dikembangkan sebagai kepemilikan bersama di bawah UU sebagai payung Negara, bukan sebagai komoditas pribadi yang malah dilegitimasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab. Dan hal ini patut kiranya mendapatkan perhatian dari seluruh komponen pemerintah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten serta masyarakat sebagai pelaku sejarah yang berhadapan langsung dengan kenyataan zaman dan perubahan waktu. Semoga bisa dipahami bersama!